Dahulu sebelum diajari tasyahud, dalam shalat
para sahabat mengucapkan,
السَّلاَمُ
عَلَى اللهِ، السَّلاَمُ عَلىَ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ، السَّلاَمُ عَلَى
فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ
“Keselamatan atas Allah. Keselamatan atas
Jibril dan Mikail. Keselamatan atas Fulan dan Fulan (yang mereka maksudkan
adalah para malaikat).”
Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam menghadap mereka seraya berkata,
لاَ
تَقُوْلُوا: السَّلاَمُ عَلَى اللهِ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ
Janganlah kalian mengatakan, “Keselamatan atas
Allah; karena Allah adalah as-Salam.”
Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajari mereka bacaan tasyahud. (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)
Membaca Tasyahud Disunnahkan dengan Sirr
Abdullah ibnu Mas ’udz mengatakan, “Merupakan
sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tasyahud dibaca secara sirr.”
(HR. Abu Dawud no. 986, at-Tirmidzi no. 291, dinyatakan sahih dalam Shahih
Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Al-Imam Tirmidzi rahimahumallah berkata,
“Inilah yang diamalkan oleh para ulama.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/179)
An-Nawawi rahimahumallah berkata,
“Ulama sepakat disirrkannya bacaan tasyahud dan dibenci membacanya
dengan jahr. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud.” (al-Majmu’,
3/444)
Bacaan Tasyahud
Bacaan tasyahud yang diajarkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bermacam-macam sehingga memberikan kelapangan kepada umat
beliau untuk memilih di antara bacaanbacaan tersebut.
1. Tasyahud Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu Ini adalah bacaan tasyahud yang paling sahih di antara
bacaan-bacaan yang ada menurut para ulama.
Ibnu Mas’ud Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, “Rasulullah n mengajariku tasyahud, dalam keadaan telapak tanganku
berada di antara dua telapak tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku
surat al-Qur’an” (HR. al-Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 899).
Adapun bacaannya adalah sebagai berikut,
التَّحِيَّاتُ
وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ
الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian
pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan
ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu
wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah Subhanahu
wata’ala dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas
hambahamba Allah yang saleh1. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)
Sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam meriwayatkan dengan,
السَّلاَمُ
عَلَي النَّبِيّ
menggantikan,
السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
Di antara yang meriwayatkan demikian adalah
Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih al-Bukhari (no.
6265) dan selainnya, dengan jalur selain jalur riwayat di atas. Beliau berkata,
“Kami mengatakan saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masih
hidup,
السَّلاَمُ
عَلَيْكَ
“Keselamatan atasmu….”
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah wafat, kami mengatakan,
السَّلاَمُ
عَلَي النَّبِيّ
“Keselamatan atas Nabi….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurut tambahan
riwayat ini, zahirnya para sahabat mengucapkan,
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
dengan huruf kaf yang menunjukkan kata
ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi n masih hidup. Tatkala
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal, mereka
menyebutkan dengan lafadz ghaib (kata ganti orang ketiga yang tidak
hadir). Mereka mengatakan,
السَّلاَمُ
عَلَي النَّبِيُّ
(lihat Fathul Bari, 11/48) Al-Imam
al-Albani t mengatakan, “Dalam hal ini masalahnya lapang. Sebab, lafadz mana
pun yang diucapkan oleh seorang yang shalat, asalkan itu tsabit/ pasti
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia telah menepati sunnah.”
(al-Ashl, 3/891)
Pendapat Ibnu Utsaimin dalam Masalah Ini
Kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah,
“Menurut saya, ini adalah ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Akan
tetapi, ijtihad ini tidak benar dari tiga sisi:
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu hadits ini dan tidak
mengaitkannya dengan menyatakan, “Selama aku masih
hidup (ucapkan begini…).” Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam justru memerintahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu untuk mengajari manusia lafadz seperti ini.
2. Orang yang mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam di dalam shalat tidaklah sama dengan orang yang
mengucapkan salam dalam keadaan berhadapan/ bertemu, yang saling bertemu ini
tidak terjadi lagi setelah wafat beliau (karena itu lafadznya perlu diganti).
Akan tetapi, orang yang mengucapkan salam kepada
beliau di dalam shalat hanyalah sebagai bentuk doa, bukan salam karena mengajak
bicara.
3. Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu mengajari tasyahud kepada manusia dalam posisi beliau sebagai
khalifah di atas mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
lafadz,
السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
Hal ini disaksikan oleh para sahabat dan
dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Namun,
tidak ada seorang pun yang mengingkari lafadz yang diajarkan oleh Umar radhiyallahu
‘anhu. Di samping itu, tidak diragukan bahwa Umar radhiyallahu
‘anhu lebih berilmu dan lebih faqih daripada Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إِنْ
يَكُنْ فِيْكُمْ مُحَدَّثُوْنَ فَعُمَرُ
“Jika di antara kalian ada muhaddatsun2, dia
adalah Umar.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Maram,
3/394)
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,
“Yang benar, seorang yang shalat mengucapkan dalam tasyahudnya,
السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Sebab, inilah yang tsabit dalam
hadits-hadits. Adapun riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
dalam masalah tasyahud, jika memang haditsnya sahih, hal itu merupakan ijthad
dari pelakunya yang tidak bisa dipertentangkan dengan hadits-hadits yang tsabit.
Seandainya hukumnya berbeda antara semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal
beliau, niscaya beliau akan menerangkannya kepada mereka.” (Fatawa al-Lajnah
ad-Daimah, 7/10—11)
Hukum Tambahan Lafadz “Wa Maghfiratuh”
Rabi’ bin Haitsam pernah datang kepada Alqamah,
meminta pendapat Alqamah untuk menambah setelah ‘warahmatullahi’ dengan
lafadz ‘wa maghfiratuh’. Alqamah berkata, “Kita hanyalah mencukupkan
dengan apa yang telah diajarkan kepada kita (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam).” (Mushannaf Abdirrazzaq ash-Shan’ani, no. 3062)
2. Tasyahud Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu
Menurut al-Imam asy-Syafi’i rahimahumallah,
tasyahud ini paling beliau senangi karena paling sempurna. Meski demikian,
beliau,tidak mempermasalahkan orang lain yang mengamalkan tasyahud selain ini
selama haditsnya sahih. (al-Umm, Bab “at-Tasyahud wash Shalah ‘alan
Nabi”)
Adapun bacaannya,
التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan,
keberkahan-keberkahan, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah
Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan
kepada Allah l) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai
Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas
hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
hamba dan rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 900)
3. Tasyahud Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu
Lafadznya,
التَّحِيَّاتُ
الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ
الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan ucapan-ucapan yang
baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula
shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) adalah milik
Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya.
Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku
bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR.
Muslim no. 902)
4. Tasyahud Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu
Lafadznya,
التَّحِيَّاتُ
الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian
pula shalawat (doadoa= pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan
ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu
wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan
keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang
saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Abu Daud no. 971, dinyatakan
sahih dalam Shahih Abi Daud)
5. Tasyahud Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu
Umar mengajarkannya kepada manusia dalam keadaan
beliau berada di atas mimbar. Lafadznya,
التَّحِيَّاتُ
،ِلهلِ الزَّاكِيَاتُ ،ِلهلِ الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ لهلِ السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah,
amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk
Allah, demikian pula ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada
Allah Subhanahu wata’ala) dan shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah
Subhanahu wata’ala) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi,
rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas
hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
hamba dan rasul-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, no. 207)
Walaupun riwayat ini mauquf sampai Umar,
namun hukumnya marfu’ sebagaimana kata Ibnu Abdil Barr rahimahumallah,
“Dimaklumi, dalam urusan seperti ini tidaklah mungkin (seorang sahabat)
mengatakan dengan ra’yu/akal-akalan/ pendapat pribadi.” (al-Istidzkar,
4/274)
6. Tasyahud Aisyah radhiyallahu
‘anhu
Lafadznya,
التَّحِيَّاتُ،
الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ، الزَّكِيَاتُ ،ِلهلِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
“Semua salam/keselamatan, ucapan-ucapan yang
baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala),
shalawat(doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula
amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk
Allah. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi,
rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas
hamba-hamba Allah yang saleh. Salam kesejahteraan atas kalian.” (HR. Malik
no. 209)
Bacaan Tasyahud Manakah yang Paling
Utama?
Yang mana saja dari bacaan di atas diamalkan oleh
orang yang shalat, semuanya sahih dan mencukupinya. Kata an-Nawawi rahimahumallah,
“Ulama sepakat bolehnya membaca semua tasyahud yang ada, namun mereka
berselisih tentang mana yang paling utama dibaca. Mazhab asy-Syafi’i rahimahumallah
dan sebagian pengikut al-Imam Malik rahimahumallah berpandangan
tasyahud Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lebih utama karena ada
tambahan lafadz al-mubarakat di dalamnya dan sesuai dengan firman Allah Subhanahu
wata’ala,
تَحِيَّةً
مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Tahiyyat dari sisi Allah yang mubarakah
thayyibah.” (an-Nur: 61)
Selain itu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menegaskan
tasyahud yang diperolehnya dengan pernyataan, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami
surat dari al- Qur’an.” Abu Hanifah dan Ahmadrahimahumallah serta jumhur
fuqaha dan ahlul hadits berpendapat, tasyahud Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu lebih utama karena haditsnya paling sahih menurut ahli hadits,
walaupun seluruh bacaan tasyahud di atas haditsnya yang sahih.
Al-Imam Malik rahimahumallah berkata,
“Tasyahud Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang mauquf3
lebih utama karena Umar mengajarkamnya kepada manusia dalam keadaan beliau di
atas mimbar dan tidak ada seorang pun (yang hadir) menentangnya (menyalahkan
bacaannya). Ini menunjukkan keutamaan bacaan tersebut.” (al-Minhaj, 4/336)
Kata al-Imam at-Tirmidzi rahimahumallah,
hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan lebih dari satu
jalur dan merupakan hadits yang paling sahih dari Nabi n dalam masalah
tasyahud. Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kalangan tabi’in setelah
mereka. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq.
(Sunan at-Tirmidzi, 1/177—178)
Kata al-Bazzar rahimahumallah, sebagaimana
dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahumallah dalam Fathul
Bari (2/408), “Aku tidak mengetahui dalam hal tasyahud ada hadits yang
lebih kokoh, lebih sahih sanadnya, dan lebih masyhur para rawinya daripada
hadits ini.”
Memulai Tasyahud dengan Zikir Selain
Tahiyat
Abul Aliyah berkata, “Ibnu Abbas mendengar
seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘Alhamdulillah’, sebelum
membaca tasyahud. Ibnu Abbas menghardiknya seraya mengatakan, ‘Mulailah dengan
tasyahud ’.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 3058)
Dalam riwayat al-Baihaqi (2/143) disebutkan, Ibnu
Abbas mendengar ada seseorang berkata dalam tasyahhudnya, ‘Bismillah,
at-tahiyyatu lillah’, maka Ibnu Abbas menghardiknya. Ada riwayat dari Ibnu
Abbas juga, dia mendengar seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘Alhamdulillah’,
sebelum membaca tasyahud. Ibnu Abbas lalu menghardiknya dan berkata,
“Mulailah dengan tasyahud.”
Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahumallah mengatakan
tentang mengawali bacaan tasyahud dengan zikir yang lain, “Tidak ada satu pun
berita yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
menyebutkan adanya bacaan tasmiyah (mengucapkan bismillah) sebelum
bertasyahud. Aku tidak mengetahui penyebutan yang demikian selain hadits Aiman,
dari Abu az-Zubair, dari Jabir. Namun, dikatakan bahwa Aiman keliru dalam
masalah ini dan tidak ada yang meyepakatinya. Jadi, dia tidak kokoh dari sisi
penukilan. Semua ulama yang kami jumpai memandang bahwa (bacaan tasyahud)
dimulai dengan tasyahud (tanpa ucapan lain sebelumnya) berdasar kabar yang tsabit
dari Rasulullah n. Dalam hadits Abu Musa ada dalil yang menunjukkan
benarnya ucapan ini. Aku pun telah menyebutkannya dalam kitab ini. Ini adalah
pendapat ulama penduduk Madinah, ulama penduduk Kufah, dan asy-Syafi’i serta
pengikutnya. Seandainya seseorang ingin bertasyahud dengan menyebut nama
Allah Subhanahu wata’ala sebelumnya, tidak ada dosa baginya.” (al-Ausath
min as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, 2/382—383)
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari