Selasa, 30 Juni 2020

Kisah-kisah menakjubkan tentang menuntut ilmu

Kisah-Kisah Teladan Menakjubkan Tentang Semangat Menuntut Ilmu

Oleh : Ustadz Kharisman 

Berikut ini adalah sepenggal kisah-kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu. 

Semoga bisa menjadi pelajaran dan teladan bagi kita untuk bersemangat menjalankan aktifitas ilmiyyah : menempuh perjalanan menghadiri majelis ilmu, mencatat, murojaah (mengingat kembali pelajaran yang sudah didapat), membaca buku-buku para Ulama’, merangkum, meringkas, menyadur dan menyalin tulisan para ulama, mencatat faidah-faidah ilmu yang kita lihat dan dengar, mendengarkan rekaman ceramah-ceramah ilmiyyah melalui file-file audio, dan semisalnya. 

Dzikir pagi dan petang

DZIKIR PAGI DAN SORE DZIKIR PAGI DAN SORE

09/12/2014
disusun oleh: Al Ustadz  Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah Waktu Dzikir 

Dzikir pagi : dari setelah sholat Subuh hingga waktu tergelincirnya matahari. 

Dzikir sore (al-masaa’) : dari setelah tergelincirnya matahari hingga tenggelam matahari. (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (no 20078)) 

Hadits-Hadits tentang Bacaan Dzikir Pagi dan Sore 

Mengeraskan bacaan dzikir seusai shalat

Disunnahkan Untuk MENGERASKAN Bacaan Dzikir Setelah Shalat Lima Waktu dan Setelah Shalat Jum'at Seusai Salam

 

Pertanyaan:

"Bagaimana hukum dzikir berjamaah setelah shalat dengan suara bersamaan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?

Dan bagaimanakah tata cara yang disunnahkan, dzikir dikeraskan ataukah dipelankan?"

Dzikir setelah shalat

Seputar Masalah Shalat (Dzikir Setelah Shalat)

Keutamaan Berdzikir 

Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah, baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat) yaitu waktu, bilangannya dan caranya terikat sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi bilangannya, atau menentukan waktunya tanpa dalil, atau membuat cara-cara berdzikir tersendiri tanpa disertai dalil baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang shahih/hasan, seperti berdzikir secara berjama’ah (lebih jelasnya lihat kitab Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khatharul Ibtidaa’, Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah, dan lain-lain). Atau dzikir-dzikir yang sifatnya muthlaq, yaitu dzikir di setiap keadaan baik berbaring, duduk dan berjalan sebagaimana diterangkan oleh ‘A`isyah bahwa beliau berdzikir di setiap keadaan (HR. Muslim). Akan tetapi tidak boleh berdzikir/menyebut nama Allah di tempat-tempat yang kotor dan najis seperti kamar mandi atau wc. 

Berteman, saling menasehati

TERUS TERANG  DAN  MENASIHATI 
▪︎▪︎▪︎▪︎

💐 Ketika berteman dengan orang-orang yang baik, seseorang terkadang mendapatkan nasihat yang keras. 

✋🏻👎🏿Akan tetapi, ketika bersahabat dengan orang-orang yang buruk, dia akan sering mendapatkan basa-basi dan sanjungan.

Keutamaan belajar bahasa arab

┏📜📚📖━━━━━━━━━━━━━┓
  *Majmu'ah Riyadhussalafiyyin*
┗━━━━━━━━━━━━━📖📚📜┛

بسم الله الرحمن الرحيم.
____________________
_Tematik_
-----------------

*📖🖋️ KEUTAMAAN MEMPELAJARI BAHASA ARAB*
____________________

[[🤝🏻]] Saudaraku yang mulia.

Merenungi nikmat Allah

✋🏻✅💐🌷 MERENUNGI NIKMAT-NIKMAT ALLAH

✍🏻 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah berkata, 

 وكلـَّما طَـال تأمـل العبـد في نعَـم الله الظاهـرة والباطِـنة، الدينـية والدنيـوية، رأى ربـه قَد أعـْطاهُ خيراً كثـيراً، ودفَـع عنه شُـروراً مُـتعددة، ولا شَك أن هَـذا يدفـع الهمـُوم والغمُـوم، ويوجِـب الفَـرح والسُّـرور .

Menghilangkan kesedihan

💦✅📖 SOLUSI MENGHILANGKAN KESEDIHAN

🔊 Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,

لَم أجد سبِيلًا لِـطردِ الهَمَّ عَن نفسي إلا فِي التَّوجُهِ إلى اللّٰه عزَّ وجل بِالعمل للآخرة .

Apa hukum tidak merapatkan Shaft saat ada udzur

🚇TIDAK MERAPATKAN SHAF PADA SHALAT JAMAAH KARENA SUATU UDZUR SYAR'I

Allah ta'ala berfirman:

{ فاتقوا الله ما استطعتم }

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.”

Nabi [ﷺ] bersabda:

Membantu pekerjaan rumah tangga

✋🏻✅💐🌷 MEMBANTU PEKERJAAN RUMAH TANGGA ADALAH AMAL MULIA

✍🏻 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, 

الإنسان إذا كان في بيته فمن السنة أن يصنع الشاي مثلا لنفسه ، ويطبخ إذا كان يعرف ، ويغسل ما يحتاج إلى غسله ، كل هذا من السنة ، أنت إذا فعلت ذلك تثاب عليه ثواب سنة ؛ اقتداء بالرسول - عليه الصلاة والسلام - وتواضعا لله - عز وجل- ؛ ولأن هذا يوجد المحبة بينك وبين أهلك  ، إذا شعر أهلك أنك تساعدهم في مهنتهم أحبوك ، وازدادت قيمتك عندهم ، فيكون في هذا مصلحة كبيرة . 

Senin, 29 Juni 2020

Jual beli dropship

Dropship adalah sistem berjualan yang Anda tidak perlu memiliki produk untuk dipasarkan, tetapi cukup mempromosikan lewat internet messenger, website, atau media sosial. Jika ada pemesanan, pembeli mentransfer uang ke rekening Anda. Anda menghubungi dan mentransfer uang ke supplier untuk mengirimkan barang ke alamat pembeli Anda.

Proses Keluarnya Jasad dari Ruh

Oleh Redaksi

di Asy Syariah Edisi 051


Keluararnya ruh dari jasad dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib z yang panjang, yang diriwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Imam Ahmad, dan Al-Hakim. Asy-Syaikh Muqbil t menyebutkan hadits ini dalam Ash-Shahihul Musnad.

Berinteraksi dengan jin

Berinteraksi dengan Jin


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.

Mengeraskan bacaan dzikir setelah shalat

 Disunnahkan Untuk MENGERASKAN Bacaan Dzikir Setelah Shalat Lima Waktu dan Setelah Shalat Jum'at Seusai Salam

 

Pertanyaan:

"Bagaimana hukum dzikir berjamaah setelah shalat dengan suara bersamaan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?
Dan bagaimanakah tata cara yang disunnahkan, dzikir dikeraskan ataukah dipelankan?"

asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah menjawab :

Bacaan setelah shalat

Dzikir Setelah Shalat Fardhu
 ADMIN  14/01/2018

Berikut ini akan disebutkan bacaan-bacaan dzikir setelah sholat fardlu, kemudian setelah semua disebutkan, akan diuraikan dalil-dalilnya:

1. Istighfar 3x

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ… أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ… أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

Artinya: Aku memohon ampunan kepada Allah (3x)

Mengikuti Rasulullah

🗯.📂.⚖. _ ENAM SYARAT ITTIBA (MUTABAAH) RASULULLAH_

❱ Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

Bismillahirrahmanirrahim

ⓞ Perlu diketahui bahwa mutaba’ah (ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad -ﷺ-) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakannya sesuai dengan syariat dalam enam perkara:

■ Pertama: Sebab

Kamis, 25 Juni 2020

Mengenal Allah

Oleh Redaksi 


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah I, tapi mereka tidak cinta kepada Allah I. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah I. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah I dengan sebenarnya.

Taat kepada pemerintah

PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)

*1⃣ Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri.  Berdasarkan :*

🎗 Firman Allah Ta’ala :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]

“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)

🎗 Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»

Istighfar dan wabah

┏📜📚📖━━━━━━━━━━━━━┓
  Majmu'ah Riyadhussalafiyyin
┗━━━━━━━━━━━━━📖📚📜┛
🌾🌻🗒 ISTIGHFAR MENGANGKAT WABAH

Wabah termasuk hukuman.

عن عائشة -رضي الله تعالى عنها- قالت: سألتُ رسول الله ﷺ عن الطاعون فأخبرني أنه: عذاب يبعثه الله على من يشاء، وأن الله جعله رحمة للمؤمنين، ليس من أحدٍ يقعُ الطاعونُ فيمكث في بلده صابراً محتسباً، يعلم أنه لا يصيبه إلا ما كتب الله له إلا كان له مثل أجر شهيد. رواه البخاري.

Hakikat ikhlas

✅📢💎🌷 HAKIKAT IKHLAS

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَقَالَ بَعْضُهُمْ : الْإِخْلَاصُ أَنْ لَا تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شَاهِدًا غَيْرَ اللَّهِ ، وَلَا مُجَازِيًا سِوَاهُ

Sebagian salaf berkata, "Ikhlas adalah engkau tidak ingin ada yang menyaksikan amalmu selain Allah, dan tidak ingin ada yang membalas amalmu selain-Nya."

Mengambil pelajaran dalam Alquran

✅📑💐🌷 MENGAMBIL PELAJARAN DALAM AL-QUR’AN

✍🏻 Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata,

ومَن تدبَّر كلامَه عرف الربَّ عزَّ وجلَّ، وعَرَفَ عظيمَ سلطانه وقدرتِه، وعظيمَ تفضُّله على المؤمنين، وعَرَف ما عليه مِن فرض عبادته

Barang siapa mentadabburi firman-Nya, dia akan mengetahui tentang Rabbnya, agungnya kerajaan dan kekuasaan-Nya, besarnya karunia yang diberikan kepada kaum mukminin, kemudian sadar kewajiban untuk beribadah kepada-Nya.

Hati yang kosong dari cinta kepada Allah

🔥🔥🔥 HATI YANG KOSONG DARI KECINTAAN KEPADA ALLAH DAN KALAM-NYA

✍ Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

فإذا رأيت الرجل ذوقه ، وتشوقه إلى سماع الأبيات دون سماع الآيات، وسماع الألحان دون سماع القرآن؛ فهذا من أقوى الأدلة على فراغ قلبه من محبة الله ، و كلامه.

📌 Apabila kamu melihat seseorang, perasaan dan kerinduannya condong kepada :
🔅 mendengar bait-bait syair bukan mendengar ayat-ayat,
🔅 mendengar nyanyian bukan mendengar Al-Qur'an,

maka hal ini merupakan tanda terkuat yang menunjukkan kekosongan hatinya dari kecintaan kepada Allah dan kalam-Nya.

📚 Al-Jawabul Kafi (226)
🌎 WhatsApp Salafy Cirebon
⏯ Channel Telegram || https://t.me/salafy_cirebon
🖥 Website Salafy Cirebon :
www.salafycirebon.com
📳 Menyajikan artikel dan audio kajian ilmiah
◻◻◻◻◻◻◻◻◻◻

Taat kepada pemerintah

📢✍🏻📜 PENTINGNYA TAAT DAN PATUH KEPADA PEMERINTAH KAUM MUSLIMIN

🔊 Syaikh Abdus Salam bin Barjas Alu Abdul Karim menjelaskan,

إن السمع والطاعة لولاة أمر المسلمين أصل من أصول العقيدة السلفية، قل أن يخلو كتاب فيها من تقريره وشرحه و بيانه، وما ذاك الا لبالغ أهميته وعظيم شأنه، إذ بالسمع والطاعة لهم تنتظم مصالح الدين والدنيا معا، و بالافتيات عليهم قولا أو فعلا فساد الدين والدنيا

Doa dan bencana

🤲🤲 ALLAH AKAN MENGANGKAT BENCANA DENGAN SEBAB DO'A

📌Allah ta'ala berfirman: "Berdoalah kalian niscaya akan aku kabulkan"

✅Dalam sebuah hadits dari Salman radhiallahu'anhu secara marfu':

"Tidak ada yang bisa menolak Qhada (ketetapan Allah) kecuali doa"

HR. Tirmidzi (2139) dan beliau mengatakan derajat haditsnya hasan.

Lebih baik diam

🌾🌾 DIAM LEBIH BAIK

✅Abu Sa'id Al-Khudri radhiallahu'anhu mengatakan:

Wajib atasmu untuk diam, karena dengannya engkau bisa mengalahkan syaithan.

📌 Berkata Syufay Al-ashbuhy rahimahullah: Barangsiapa yang banyak bicaranya maka banyak kesalahannya.

Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak di dalam Ar-Raqaiq (1031).


Bagaimana memperlakukan orang lain

💫💫💫 ADAB SEORANG MUSLIM

MANAKAH DI ANTARA MEREKA YANG INGIN ENGKAU SAKITI?

‏قال رجل لعمر بن عبد العزيز:

...اجعل كبير المسلمين عندك أبًا، وصغيرهم ابنًا، وأوسطهم أخًا،
فأي أولئك تحب أن تسيء إليه ؟...

‎#الاستذكار:2-28

Menyebarkan salam

📶 Petikan Akhlak Salaf
---------------------------------------------

👍 MENGUCAPKAN SALAM

✍🏻Bisyr bin Harb رحمَـہ الله تَعـَالَـى berkata :

  "Aku keluar  bersama Abdullah bin Umar bin Al Khottob رضي الله عنهما ke pasar.

   Kemudian tidaklah beliau melewati anak kecil dan orang dewasa kecuali beliau berkata : 

Rabu, 24 Juni 2020

Contoh Perjanjian Kerjasama Pemilik dan Pengelola


BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM

SURAT PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
PEMILIK ES SARI BUAH SUEGER POOL
DENGAN
PENGELOLA ES SARI BUAH SUEGER POOL
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA ES SARI BUAH SUEGER POOL
 

Contoh Perjanjian Kerjasama Pengelola dan Karyawan

BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM

SURAT PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
PENGELOLA ES SARI BUAH SUEGER POOL
DENGAN
NAMA KARYAWAN
TENTANG
PENJUALAN ES SARI BUAH SUEGER POOL

APAKAH NABI KITA HIDUP KAYA ATAU MISKIN?



Periode kehidupan Nabi pernah diwarnai kecukupan bahkan kelebihan, namun juga pernah mengalami masa-masa kekurangan, dan kemiskinan. Saat kecil hingga meninggal, nuansa warna itu bercorak dalam kehidupan beliau.

Saat diasuh kakeknya, Abdul Muththolib, kehidupan beliau relatif berkecukupan. Abdul Muththolib dikenal kaya raya.

Saat diasuh Abu Tholib, sang paman, beliau hidup dalam kemiskinan. Karena secara finansial Abu Tholib memang kekurangan.

Khodijah radhiyallahu anha, istri Nabi yang pertama, adalah seorang wanita kaya raya dan mulia. Banyak membantu Nabi dengan hartanya.

Adab Ketika akan Tidur

by admin · April 1, 2011 Buletin Islam Al Ilmu Edisi No:17/IV/IX/1432

Para pembaca yang budiman, sesungguhnya tidur menghabiskan sepertiga dari umur seseorang jika ia tidur dalam sehari semalam delapan jam.

Jika dia mampu mengikuti tauladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tidur, maka sesungguhnya waktu yang panjang tersebut akan bernilai ibadah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan yang baik atas amalannya.

ADAB MAKAN DAN MINUM DALAM ISLAM



Berikut ini adalah beberapa adab makan dan minum sesuai dengan bimbingan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:

1. Memakan makanan yang halal.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…(Q.S al-Baqoroh ayat 172).

TIGA LANDASAN AKHLAQ MULIA TERHADAP SESAMA


Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Setelah kita mengetahui bagaimana berakhlaq yang baik terhadap Sang Khaliq, sekarang kita akan beralih ke pembahasan bagaimana berakhlaq baik kepada sesama makhluq.

Para ulama, di antaranya Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa akhlaq yang baik terhadap mahluk berputar pada tiga perkara pula, yaitu:

 كَفُّ اْلأَذَى ، وَبَذْلُ النَّدَى، وَطَلاَقَةُ الْوَجْهِ

Bacaan-Bacaan Tasyahud


Oleh Redaksi

Dahulu sebelum diajari tasyahud, dalam shalat para sahabat mengucapkan,

السَّلاَمُ عَلَى اللهِ، السَّلاَمُ عَلىَ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ، السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ

“Keselamatan atas Allah. Keselamatan atas Jibril dan Mikail. Keselamatan atas Fulan dan Fulan (yang mereka maksudkan adalah para malaikat).”

Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap mereka seraya berkata,

لاَ تَقُوْلُوا: السَّلاَمُ عَلَى اللهِ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ

Janganlah kalian mengatakan, “Keselamatan atas Allah; karena Allah adalah as-Salam.”

Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari mereka bacaan tasyahud. (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)

Membaca Tasyahud Disunnahkan dengan Sirr

Abdullah ibnu Mas ’udz mengatakan, “Merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tasyahud dibaca secara sirr.” (HR. Abu Dawud no. 986, at-Tirmidzi no. 291, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)

Al-Imam Tirmidzi rahimahumallah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/179)

An-Nawawi rahimahumallah berkata, “Ulama sepakat disirrkannya bacaan tasyahud dan dibenci membacanya dengan jahr. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud.” (al-Majmu’, 3/444)

Bacaan Tasyahud

Bacaan tasyahud yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermacam-macam sehingga memberikan kelapangan kepada umat beliau untuk memilih di antara bacaanbacaan tersebut.

1. Tasyahud Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu Ini adalah bacaan tasyahud yang paling sahih di antara bacaan-bacaan yang ada menurut para ulama.

Ibnu Mas’ud Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Rasulullah n mengajariku tasyahud, dalam keadaan telapak tanganku berada di antara dua telapak tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku surat al-Qur’an” (HR. al-Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 899).

Adapun bacaannya adalah sebagai berikut,

التَّحِيَّاتُ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah Subhanahu wata’ala dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh1. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)

Sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan dengan,

السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيّ

menggantikan,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ

Di antara yang meriwayatkan demikian adalah Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih al-Bukhari (no. 6265) dan selainnya, dengan jalur selain jalur riwayat di atas. Beliau berkata, “Kami mengatakan saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ

“Keselamatan atasmu….”

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam 
telah wafat, kami mengatakan,

السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيّ

“Keselamatan atas Nabi….”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurut tambahan riwayat ini, zahirnya para sahabat mengucapkan,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ

dengan huruf kaf yang menunjukkan kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi n masih hidup. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal, mereka menyebutkan dengan lafadz ghaib (kata ganti orang ketiga yang tidak hadir). Mereka mengatakan,

السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيُّ

(lihat Fathul Bari, 11/48) Al-Imam al-Albani t mengatakan, “Dalam hal ini masalahnya lapang. Sebab, lafadz mana pun yang diucapkan oleh seorang yang shalat, asalkan itu tsabit/ pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia telah menepati sunnah.(al-Ashl, 3/891)

Pendapat Ibnu Utsaimin dalam Masalah Ini
Kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, “Menurut saya, ini adalah ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, ijtihad ini tidak benar dari tiga sisi:

1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  mengajari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu hadits ini dan tidak mengaitkannya dengan menyatakan, “Selama aku masih
hidup (ucapkan begini…).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam justru memerintahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu untuk mengajari manusia lafadz seperti ini.

2. Orang yang mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat tidaklah sama dengan orang yang mengucapkan salam dalam keadaan berhadapan/ bertemu, yang saling bertemu ini tidak terjadi lagi setelah wafat beliau (karena itu lafadznya perlu diganti).
Akan tetapi, orang yang mengucapkan salam kepada beliau di dalam shalat hanyalah sebagai bentuk doa, bukan salam karena mengajak bicara.

3. Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengajari tasyahud kepada manusia dalam posisi beliau sebagai khalifah di atas mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafadz,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ

Hal ini disaksikan oleh para sahabat  dan dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Namun, tidak ada seorang pun yang mengingkari lafadz yang diajarkan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. Di samping itu, tidak diragukan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu lebih berilmu dan lebih faqih daripada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنْ يَكُنْ فِيْكُمْ مُحَدَّثُوْنَ فَعُمَرُ

“Jika di antara kalian ada muhaddatsun2, dia adalah Umar.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Maram, 3/394)

Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan, “Yang benar, seorang yang shalat mengucapkan dalam tasyahudnya,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sebab, inilah yang tsabit dalam hadits-hadits. Adapun riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah tasyahud, jika memang haditsnya sahih, hal itu merupakan ijthad dari pelakunya yang tidak bisa dipertentangkan dengan hadits-hadits yang tsabit. Seandainya hukumnya berbeda antara semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal beliau, niscaya beliau akan menerangkannya kepada mereka.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 7/10—11)

Hukum Tambahan Lafadz “Wa Maghfiratuh”

Rabi’ bin Haitsam pernah datang kepada Alqamah, meminta pendapat Alqamah untuk menambah setelah ‘warahmatullahi’ dengan lafadz ‘wa maghfiratuh’. Alqamah berkata, “Kita hanyalah mencukupkan dengan apa yang telah diajarkan kepada kita (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Mushannaf Abdirrazzaq ash-Shan’ani, no. 3062)

2. Tasyahud Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu

Menurut al-Imam asy-Syafi’i rahimahumallah, tasyahud ini paling beliau senangi karena paling sempurna. Meski demikian, beliau,tidak mempermasalahkan orang lain yang mengamalkan tasyahud selain ini selama haditsnya sahih. (al-Umm, Bab “at-Tasyahud wash Shalah ‘alan Nabi”)

Adapun bacaannya,

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan, keberkahan-keberkahan, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah l) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 900)

3. Tasyahud Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu

Lafadznya,

التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 902)

4. Tasyahud Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu

Lafadznya,

التَّحِيَّاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doadoa= pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Abu Daud no. 971, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Daud)

5. Tasyahud Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu

Umar mengajarkannya kepada manusia dalam keadaan beliau berada di atas mimbar. Lafadznya,

التَّحِيَّاتُ ،ِلهلِ الزَّاكِيَاتُ ،ِلهلِ الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ لهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan milik Allah, amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk Allah, demikian pula ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, no. 207)

Walaupun riwayat ini mauquf sampai Umar, namun hukumnya marfu’ sebagaimana kata Ibnu Abdil Barr rahimahumallah, “Dimaklumi, dalam urusan seperti ini tidaklah mungkin (seorang sahabat) mengatakan dengan ra’yu/akal-akalan/ pendapat pribadi.” (al-Istidzkar, 4/274)

6. Tasyahud Aisyah radhiyallahu ‘anhu

Lafadznya,

التَّحِيَّاتُ، الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ، الزَّكِيَاتُ ،ِلهلِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

“Semua salam/keselamatan, ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala), shalawat(doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk Allah. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Salam kesejahteraan atas kalian.” (HR. Malik no. 209)

Bacaan Tasyahud Manakah yang Paling Utama?

Yang mana saja dari bacaan di atas diamalkan oleh orang yang shalat, semuanya sahih dan mencukupinya. Kata an-Nawawi rahimahumallah, “Ulama sepakat bolehnya membaca semua tasyahud yang ada, namun mereka berselisih tentang mana yang paling utama dibaca. Mazhab asy-Syafi’i rahimahumallah dan sebagian pengikut al-Imam Malik rahimahumallah berpandangan tasyahud Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lebih utama karena ada tambahan lafadz al-mubarakat di dalamnya dan sesuai dengan firman Allah Subhanahu wata’ala,

تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

“Tahiyyat dari sisi Allah yang mubarakah thayyibah.” (an-Nur: 61)

Selain itu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menegaskan tasyahud yang diperolehnya dengan pernyataan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat dari al- Qur’an.” Abu Hanifah dan Ahmadrahimahumallah serta jumhur fuqaha dan ahlul hadits berpendapat, tasyahud Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu lebih utama karena haditsnya paling sahih menurut ahli hadits, walaupun seluruh bacaan tasyahud di atas haditsnya yang sahih.

Al-Imam Malik rahimahumallah berkata, “Tasyahud Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu  yang mauquf3 lebih utama karena Umar mengajarkamnya kepada manusia dalam keadaan beliau di atas mimbar dan tidak ada seorang pun (yang hadir) menentangnya (menyalahkan bacaannya). Ini menunjukkan keutamaan bacaan tersebut.” (al-Minhaj, 4/336)

Kata al-Imam at-Tirmidzi rahimahumallah, hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan lebih dari satu jalur dan merupakan hadits yang paling sahih dari Nabi n dalam masalah tasyahud. Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kalangan tabi’in setelah mereka. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan at-Tirmidzi, 1/177—178)

Kata al-Bazzar rahimahumallah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahumallah dalam Fathul Bari (2/408), “Aku tidak mengetahui dalam hal tasyahud ada hadits yang lebih kokoh, lebih sahih sanadnya, dan lebih masyhur para rawinya daripada hadits ini.”

Memulai Tasyahud dengan Zikir Selain Tahiyat

Abul Aliyah berkata, “Ibnu Abbas mendengar seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘Alhamdulillah’, sebelum membaca tasyahud. Ibnu Abbas menghardiknya seraya mengatakan, ‘Mulailah dengan tasyahud ’.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 3058)

Dalam riwayat al-Baihaqi (2/143) disebutkan, Ibnu Abbas mendengar ada seseorang berkata dalam tasyahhudnya, ‘Bismillah, at-tahiyyatu lillah’, maka Ibnu Abbas menghardiknya. Ada riwayat dari Ibnu Abbas juga, dia mendengar seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘Alhamdulillah’, sebelum  membaca tasyahud. Ibnu Abbas lalu menghardiknya dan berkata, “Mulailah dengan tasyahud.”

Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahumallah mengatakan tentang mengawali bacaan tasyahud dengan zikir yang lain, “Tidak ada satu pun berita yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan adanya bacaan tasmiyah (mengucapkan bismillah) sebelum bertasyahud. Aku tidak mengetahui penyebutan yang demikian selain hadits Aiman, dari Abu az-Zubair, dari Jabir. Namun, dikatakan bahwa Aiman keliru dalam masalah ini dan tidak ada yang meyepakatinya. Jadi, dia tidak kokoh dari sisi penukilan. Semua ulama yang kami jumpai memandang bahwa (bacaan tasyahud) dimulai dengan tasyahud (tanpa ucapan lain sebelumnya) berdasar kabar yang tsabit dari Rasulullah n. Dalam hadits Abu Musa ada dalil yang menunjukkan benarnya ucapan ini. Aku pun telah menyebutkannya dalam kitab ini. Ini adalah pendapat ulama penduduk Madinah, ulama penduduk Kufah, dan asy-Syafi’i serta pengikutnya. Seandainya seseorang ingin bertasyahud dengan menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala sebelumnya, tidak ada dosa baginya.” (al-Ausath min as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, 2/382—383)

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


Isyarat Telunjuk Saat Tasyahud

Oleh Redaksi

Saat duduk dalam tasyahud ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanan, dan telapak tangan kiri di atas paha kiri. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Abdullah ibnu az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma,

وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanan dan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim no. 1308)

Demikian pula disebutkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. (HR. Muslim no. 1311) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan lengan bawahnya di atas pahanya dan tidak menjauhkannya, hingga ujung siku beliau berada di pangkal pahanya. Adapun lengan kiri dalam keadaan jari-jemarinya terjulur di atas paha kiri.” (Zadul Ma’ad, 1/256)

Atau telapak tangan tersebut diletakkan di atas lutut, sebagaimana dalam riwayat yang lain,

وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى

“Beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kiri dan tangan kanannya di atas lutut kanan.” (HR. Muslim no. 1310)

Ujung siku kanan, beliau letakkan di atas paha kanan, sementara jari telunjuk kanan beliau berisyarat dengan menunjuk. Adapun jari kelingking kanan dan jari manis dilipat. Ibu jari beliau dengan jari tengah membuat lingkaran, sebagaimana disebutkan oleh hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan sifat duduk tasyahud ini, di antaranya,

وَحَدَّ مِرْفَقَهُ الْأَيْمَن عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى, وَقَبَضَ ثِنْتَيْنِ وَحَلَقَ، وَرَأَيْتُهُ يَقُوْلُ هَكَذَا

“Beliau meletakkan ujung siku beliau yang kanan di atas paha kanan. Dua jari beliau lipat/genggam (kelingking dan jari manis) dan beliau membentuk lingkaran (dengan dua jari beliau). Aku melihat beliau melakukan seperti ini.”

Bisyr ibn al-Mufadhdhal (seorang rawi yang meriwayatkan hadits ini mencontohkan) mengisyaratkan jari telunjuk (meluruskannya seperti menunjuk), sedangkan jari tengah dan ibu jari membentuk lingkaran. (HR. Abu Dawud no. 726 & 957, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)

Berisyarat dengan Telunjuk Saat Tasyahud

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma memberitakan bahwa apabila duduk untuk tasyahud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya dengan terbentang di atas lutut kirinya, sedangkan telapak tangan kanan yang berada di atas lutut kanan menggenggam jari-jemarinya seluruhnya dan memberi isyarat ke kiblat dengan jari telunjuknya dalam keadaan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk tersebut. (HR. Malik 1/111—112, Muslim no. 1311) 

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan (2/119) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ

“Jari telunjuk itu lebih keras bagi setan daripada besi.”

Al-Imam al-Albani rahimahullah menerangkan hadits ini, “Sanadnya hasan atau mendekati hasan, karena semua rawinya tsiqah, rijal kutubus sittah, selain Katsir ibnu Zaid, dia shaduq yukhthi’, seperti dalam at-Taqrib.” (al- Ashl, 3/839) 

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Berisyarat dengan jari telunjuk dalam tasyahud ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tabi’in. Ini juga pendapat yang dipegangi oleh teman-teman kami (ahlul hadits).” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shalah”, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)

Al-Imam Muhammad ibnul Hasan rahimahullah berkata dalam Muwaththa’nya, “Kami mengambil teladan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah1.” (al-Ashl, 3/841) 

Al-Imam ‘Ali al-Qari al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Demikian pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad, serta tidak diketahui ada perselisihan ulama salaf dalam masalah ini. Yang ada hanyalah penyelisihan sebagian fuqaha masa belakangan dari kalangan mazhab kami.” (Tuhfah al-Ahwadzi, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)

Setelah membawakan sejumlah hadits tentang isyarat dengan jari telunjuk, al-Imam Ali al-Qari al-Hanafi rahimahullah pada risalah Tazyin al-Ibarah li Tahsin al-Isyarah menyatakan, “Ini adalah hadits-hadits yang banyak dengan jalurjalur yang banyak, yang masyhur, dan karenanya tidak diragukan. Hadits-hadits ini menunjukkan sahihnya hukum asal isyarat, karena sebagian sanadnya ada dalam Shahih Muslim. Amalan ini bisa dikatakan mencapai mutawatir secara makna. Dengan demikian, orang yang beriman kepada Allah  Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya tidak boleh enggan mengamalkannya. Adapun pendapat yang menolak berisyarat dengan telunjuk beralasan bahwa mengangkat telunjuk adalah perbuatan yang tidak perlu sehingga meninggalkannya lebih utama—karena shalat dibangun di atas ketenangan— alasan ini tertolak. Sebab, seandainya lebih utama tidak melakukannya, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan melakukannya. Padahal beliau memiliki sifat kewibawaan dan ketenangan yang paling tinggi, tidak ada yang menyamai.” (Sebagaimanadinukil dalam al-Ashl, 3/842) 

Tata cara isyarah saat tasyahud ada dua, sebagaimana yang datang dalam riwayat yang kuat.

1. Jari kelingking dan jari manis dilipat ke bagian dalam telapak tangan, demikian pula jari tengah dan ibu jari. Hanya saja, ibu jari diletakkan di atas jari tengah, sedangkan jari telunjuk diluruskan (menunjuk), sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu di atas.

2. Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuat lingkaran dengan jari tengah dan ibu jari, sebagaimana riwayat Wail ibnu Hujr radhiallahu ‘anhu yang juga telah disebutkan. Kedua sifat di atas adalah keragaman beribadah dalam masalah tata cara isyarah. Para ulama menyebutnya tanawwu’at fil ibadah. Jadi, bisa diamalkan salah satu di antara keduanya, kadang yang ini, di waktu lain yang itu. Al-Imam Ali al-Qari rahimahullah berkata,“Hal ini memberikan faedah diberikannya  pilihan bagi kita di antara dua cara berisyarat, yang keduanya dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah pendapat dan pengumpulan yang bagus. Jadi, sepantasnya orang yang berjalan di atas sunnah terkadang melakukan yang satu dan di lain waktu yang lainnya.” (al- Ashl, 3/851—852)

Kapan Isyarah Dimulai?

Penulis Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubarakfuri, berkata, “Secara zahir, hadits-hadits isyarah semuanya menunjukkan bahwa isyarah dengan jari telunjuk dimulai dari awal duduk tasyahud. Saya tidak melihat satu pun dalil sahih yang menunjukkan seperti apa yang dikatakan oleh para ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi.” 

Duduk yang dilarang saat tasyahud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang duduk bersandar (bertopang) di atas tangan kirinya saat duduk dalam shalat. Beliau katakan, “Itu adalah shalat orang Yahudi.” Dalam satu lafadz,

لاَ تَجْلِسْ هَكَذَا: إِنَّمَا هَذِهِ جِلْسَةُ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ

“Jangan kalian duduk seperti itu, karena hanyalah yang demikian itu duduknya orang-orang yang diazab.” (HR. al-Hakim 1/272, dinyatakan sahih dalam al-Irwa no. 380) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh 

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

Rakaat Kedua Shalat Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam

Oleh Redaksi

Cara Bangkit ke Rakaat Berikutnya

Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Maukah kalian aku ajarkan cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau pun mencontohkan dengan melakukan shalat, namun bukan di waktu shalat. Ketika beliau mengangkat kepalanya di sujud yang kedua dalam rakaat pertama, beliau duduk sejenak, lalu bangkit bertumpu1 (dengan kedua tangannya) di atas bumi. (HR. an-Nasai no. 1153, asy-Syafi’I dalam al-Umm no.199, al-Baihaqi 2/124 dan135. Hadits ini dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasai)

Dari hadits ini dipahami, ketika bangkit dari duduk istirahat atau tasyahud awal disunnahkan bertumpu dengan kedua tangan di atas bumi sebagaimana pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Makhul, Umar ibnu Abdil ‘Aziz, al-Hasan, Ibnu Abi Zakariya, al-Qasim Abu Abdirrahman, Abu Makhramah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad rahimahullah, dan selainnya dari kalangan ulama. (Sunanul Kubra Bab al-’Itimad bilyadain ‘alal Ardhi idza Qama minat Tasyahud Qiyasan ‘alan Nuhudh minar Rak’al Ula dan al-Isyraf ‘ala Madzhabil ‘Ulama, 2/38)

Pemahaman ini disepakati oleh seluruh ulama. Hanya saja, di antara mereka para ulama ada yang berpandangan hal itu dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena faktor ketuaan, sebagaimana al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah dalam al- Isyraf 2/38 menukilkan pandangan tersebut dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, an-Nakhai, ats- Tsauri, dan yang lainnya. Al – Imam asy – Syafi ’i rahimahullah menyatakan dalam kitabnya al-Umm (bab “al-Qiyam minal Julus”), “Inilah yang kami pandang, sehingga kami menyuruh orang yang bangkit dari sujud atau duduk istirahat dalam shalat agar ia bertumpu dengan kedua tangannya secara bersamaan di atas permukaan bumi dalam rangka mengikuti sunnah.”

Dari Azraq ibnu Qais rahimahullah, ia menyatakan, “Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, apabila bangkit dari dua rakaat, beliau bertumpu dengan kedua tangannya di atas permukaan bumi. Maka aku tanyakan kepada anaknya dan para sahabatnya, ‘Apakah Ibnu Umar melakukannya karena tua?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, memang demikianlah yang biasa beliau lakukan’.” (HR. al-Baihaqi 2/135, riwayat ini jayyid sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)

Dalam riwayat ath-Thabarani rahimahullah di al-Ausath disebutkan, “Aku (Azraq) bertanya kepada Ibnu Umar, “Kenapa anda melakukan seperti ini?” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “(Aku melakukannya) karena aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.” Abu Ishaq al-Harbi dalam Gharibul Hadits meriwayatkan juga dari Azraq ibnu Qais menyatakan, “Aku pernah melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan ‘ajn dalam shalat, yaitu bertumpu dengan kedua tangannya (di atas bumi) di saat bangkit. Aku pun bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukannya, maka ia menjawab, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya’.” (sanadnya hasan sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)

Makna ‘Ajn

Hadits ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas menyebutkan “melakukan ‘ajn dalam shalat”, dan kita dapatkan ulama berbeda pendapat dalam memaknakannya. 

Sebagian ulama memaknainya dengan makna zahirnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Atsir rahimahullah dalam an-Nihayah, yaitu bertumpu dengan kedua tangan di atas bumi sebagaimana seseorang yang mengadon tepung. Adapun yang lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (3/421), memaknakan ‘ajn dalam shalat ialah bangkit berdiri dalam keadaan bertumpu dengan bagian dalam kedua telapak tangan sebagaimana orang yang ‘ajiz/lemah ( الْعَاجِزُ ) bertumpu karena tua renta. Maknanya bukan ‘ajin al-’ajiin   عاَجَنَ الْعَجِينَ : orang yang mengadon ‘ajin/adonan tepung. Pendapat ini dinukilkan juga sebelumnya dari Ibnu Shalah dan yang lainnya. (at-Talkhish, 1/423—424)

Hikmah Bertumpu dengan Kedua Tangan di Atas Bumi

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Sesungguhnya (bertumpu dengan kedua tangan ke atas bumi, –pen.) itu lebih dekat ke sikap tawadhu’, mempermudah orang yang menjalankan shalat, dan lebih aman dari risiko jatuh.” (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab “al-Qiyamu minal Julus”)

Faedah

Hadits-hadits yang menunjukkan larangan bertumpu di atas permukaan bumi lemah sebagaimana dijelaskan hal ini oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah (no. 967, 968)

Rakaat Kedua

Saat bangkit ke rakaat kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengawalinya dengan membaca surah al-Fatihah sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ  افْتَتَحَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ

“Apabila bangkit ke rakaat kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka bacaan dengan ‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan tidak diam.” (HR. Muslim no. 1355)

Dalam rakaat kedua ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  melakukan amalan yang sama dengan apa yang beliau lakukan di rakaat pertama sampai selesai sujud yang kedua. Hanya saja beliau menjadikan rakaat kedua lebih pendek bila dibandingkan dengan rakaat pertama. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan bacaan dalam shalat zuhur bahwa bacaan beliau pada rakaat kedua lebih pendek daripada rakaat pertama. Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu memberitakan,

 كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ  مِنَ الصَّلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ يَطُوْلُ فِي الْأُوْلى وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua rakaat yang awal dari shalat zuhur membaca Ummul Kitab (al-Fatihah) dan dua surat2, beliau memanjangkan bacaan pada rakaat yang pertama dan pada rakaat kedua lebih pendek.” (HR. al-Bukhari no. 759 dan Muslim no. 1012)

Tasyahud Awal

Seusai sujud yang kedua pada rakaat kedua, Rasulullah n tidak bangkit berdiri seperti yang beliau lakukan dalam rakaat pertama, tetapi duduk untuk bertasyahud awal. Amalan ini dinamakan tasyahud karena di dalamnya ada penyebutan syahadat yang haq, yaitu mempersaksikan hanya Allah Subhanahuwata’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar. Walau di saat tasyahud ada penyebutan zikir-zikir yang lain, namun karena mulianya syahadat yang disebut di dalamnya, dipakailah sebagai istilah untuk amalan shalat yang satu ini. (at-Taudihul Ahkam, 2/271) Tasyahud itu ada dua, yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir. Apabila shalat yang dikerjakan berjumlah dua rakaat, seperti shalat subuh, tasyahudnya hanya sekali. Adapun yang jumlahnya lebih dari dua rakaat, tasyahud dilakukan dua kali, kecuali shalat witir yang dikerjakan tiga rakaat secara langsung, dilakukan tasyahud hanya sekali, yaitu pada rakaat yang terakhir (rakaat ketiga). Hal ini untuk membedakannya dengan shalat maghrib3. Insya Allah keterangan yang berkenaan dengan shalat witir akan dibahas secara khusus dalam penjelasan tentang shalat-shalat sunnah.

Hukum Tasyahud Awal

Ulama bersepakat tentang disyariatkannya tasyahud awal. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya wajib atau sunnah? Yang memandang wajib di antaranya ialah al-Laits, Ishaq, Abu Tsaur, Dawud azh-Zhahiri, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, satu pendapat asy-Syafi’I dan satu riwayat dari mazhab Hanafi, demikian pula Ibnu Hazm azh-Zhahiri dan fuqaha ahli hadits. (al-Muhalla 2/300, al-Bidayah al-Mujtahid hlm. 123, al-Hawi al-Kabir 2/132, Fathul Bari 2/401).

Dalil mereka di antaranya:
• hadits perintah kepada orang yang salah shalatnya (al-musi’u shalatahu)
• hadits keseriusan pengajaran Nabi n tentang tasyahud kepada sahabat sebagaimana seriusnya beliau mengajarkan al-Qur’an kepada mereka
• amalan yang terus-menerus beliau lakukan dalam shalatnya, dan ketika terlupakan beliau pun sujud sahwi karenanya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي  الرَّكْعَتَيْنِ ا وْألُْ لَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ. فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيْمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجَدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zuhur mengimami mereka (para sahabat) shalat. Setelah rakaat kedua, beliau bangkit berdiri tanpa duduk (tasyahud awal). Orang-orang pun bangkit bersama beliau. Ketika beliau telah menyelesaikan shalat dan orang-orang menanti salam beliau, ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lalu sujud dua kali sebelum salam. Setelahnya, barulah beliau salam.” (HR. al-Bukhari no. 829 dan Muslim no. 1269)

Adapun yang memandang sunnah di antaranya Malik, asy-Syafi’i, dan yang lainnya. Dalil mereka adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dalam shalat saat terlupakan tasyahud awal, para sahabat mengingatkan beliau dengan bertasbih, namun beliau tetap berdiri. Seandainya tasyahud itu wajib, tentu beliau akan duduk ketika mendengar peringatan para sahabat. (al- Hawi al-Kabir 2/132, al-Muhadzdzab fi Ikhtishar as-Sunan al-Kabir lil Baihaqi 2/581)

Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis condong kepada pendapat pertama yang menyatakan wajibnya tasyahud awal. Adapun jawaban terhadap pendapat yang kedua, apabila telah bangkit ke rakaat ketiga dan telah berdiri, apalagi sudah telanjur membaca al- Fatihah tanpa duduk untuk tasyahud awal sebelumnya karena lupa, tidak perlu duduk kembali untuk tasyahud. Amalan shalatnya tetap diteruskan dan di akhir shalat diganti dengan sujud sahwi, sebagaimana disebutkan oleh hadits Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/322—323) dengan sanad yang sahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Duduk Iftirasy pada Tasyahud Awal

Pada tasyahud awal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk iftirasy sebagaimana duduk beliau di antara dua sujud. Hal ini berdasar hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan an-Nasa’i rahimahullah. Wail berkata,

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ فَرَأَيْتُهُ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا  افْتَتَحَ الصَّلاَةَ حَتَّى يُحَاذِي مَنْكِبَيْهِ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ. وَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ: أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى

“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku melihat beliau mengangkat kedua tangan saat membuka shalat, hingga dua tangan beliau setentang dengan kedua pundak beliau. Demikian pula ketika beliau hendak rukuk. Saat beliau duduk dalam rakaat kedua, beliau membaringkan kaki kiri beliau dan menegakkan kaki kanan.” (Dinyatakan sahih sanadnya dalam Shahih an-Nasa’i no. 1159)

Demikian yang beliau amalkan pada tasyahud awal dalam shalat tiga atau empat rakaat. Sahabat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

 أَنَا كُنْتُ أَحْفَظُكُمْ لِصَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ وَفِيْهِ قَالَ: فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى وَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ ا خْألََرَى وَ قَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

“Aku paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam….” Dalam hadits tersebut, Abu Humaid mengatakan, “Apabila duduk dalam rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki yang kanan. Apabila beliau duduk pada rakaat yang terakhir, beliau mengedepankan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan) serta duduk di atas pantat beliau.” (HR. al-Bukhari no. 828)

Az-Zain ibnul Munayyir rahimahullah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, mengatakan bahwa hadits di atas menunjukkan adanya perbedaan antara duduk tasyahud awal dan duduk tasyahud akhir. (Fathul Bari, 2/395)

Al – Imam an-Nawawi rahimahullah  menyatakan tentang perbedaan tersebut sesuai dengan zahir hadits Abu Humaid, yaitu tasyahud awal dengan duduk iftirasy dan tasyahud akhir dengan duduk tawarruk. (al-Minhaj, 4/437)

Perbedaan Pendapat dalam Masalah Duduk Tasyahud Awal Ulama dalam masalah ini terbagi menjadi empat pendapat:

1. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, ashabur ra’yi, dan yang lainnya rahimahumullah, berpendapat duduk iftirasy pada saat tasyahud awal.

2. Al-Imam Malik t dan yang lainnya menyatakan duduk tawarruk saat tasyahud awal.

3. Al-Imam al-Auza ’ i rahimahullah menyatakan iftirasy dan boleh duduk di atas kedua telapak kaki secara bersamaan.

4. Al-Imam ath-Thabari rahimahullah menyatakan iftirasy atau tawarruk semuanya sunnah karena di sini perkaranya lapang.
(al-Isyraf ‘ala Madzhibil ‘Ulama 2/40—41, at-Tahdzib fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, 2/120, Syarhus Sunnah lil Baghawi 3/172,

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya

Oleh Redaksi


1. Duduk dengan thuma’ninah

Ketika duduk di antara dua sujud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk thuma’ninah, duduk dengan tenang dan batasannya adalah gerakan sebelumnya tidak tampak lagi (Fathul Bari, 2/357).

Beliau melakukan duduk ini dengan lama hingga mendekati lama sujudnya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits al-Barra ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

 كاَنَ رُكُوْعُ رَسُوْلِ اللهِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ، وَسُجُوْدُهُ، وَمَا بَيْنَ السَّجَدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.

“Adalah ruku’ Rasulullah n , mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujudnya, hampir sama lamanya.” (HR . al-Bukhari no. 792, 820 dan Muslim no. 1057)

Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk sangat lama, sebagaimana dicontohkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang dikabarkan oleh Tsabit al-Bunani, murid Anas radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa Anas berkata, “Aku akan shalat di hadapan kalian sebagaimana tata cara yang pernah aku lihat dari Rasulullah n saat shalat di hadapan kami.”

Kata Tsabit, “Dalam shalat tersebut (yang dicontohkan/diajarkan kepada kami) Anas melakukan sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Bila ia bangkit dari ruku’, ia berdiri lurus (lama) hingga ada orang yang berkata, ‘Sungguh ia lupa.’ Bila ia duduk di antara dua sujud (dalam riwayat Muslim: dan bila ia mengangkat kepalanya dari sujud), ia diam lama, hingga ada yang berkata, ‘Sungguh ia lupa’.” (HR . al-Bukhari no. 821 dan Muslim no. 1060)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mmengatakan, sunnah ini telah ditinggalkan banyak orang setelah berlalunya masa sahabat, karena itulah Tsabit pernah berkata, “Anas melakukan sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Ia duduk lama saat duduk di antara dua sujud hingga kami berkata, ‘Anas lupa’.” (Zadul Ma’ad, 1/60—61)

Di saat duduk di antara dua sujud ini, disenangi meletakkan kedua tangan  di atas kedua paha dekat dengan kedua lutut, siku berada di atas paha, sedangkan ujung jari di atas lutut dalam keadaan jari-jemari ini agak direnggangkan dan dihadapkan ke arah kiblat. (al-Majmu’, 3/415, Zadul Ma’ad, 1/60)

Amalan duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah dalam pelaksanaannya hukumnya wajib menurut pendapat yang rajih (kuat) dan ini merupakan pendapat kebanyakan/jumhur ulama, menyelisihi pendapat Abu Hanifah yang mengatakan tidak wajib. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada orang yang salah shalatnya,
“Kemudian angkat kepalamu (dari sujud) hingga engkau duduk tenang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sedangkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkannya dari Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. (al-Majmu’, 3/418)

2. Zikir-zikir

Di saat duduk di antara dua sujud ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah membaca zikir dan doa di bawah ini.

1. Bacaan:
اللَّهُمَّ (وَفِي لَفْظٍ: رَبِّ) اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي،
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي

“Ya Allah (dalam satu lafadz: Wahai Rabbku), ampunilah aku, rahmatilah aku, [perbaikilah aku]2, [angkatlah derajatku]3, berilah petunjuk kepadaku, [hapuskanlah dosaku]4, dan berilah rezeki kepadaku.”

Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan Abu Dawud no. 850, at- Tirmidzi no. 284, Ibnu Majah no. 898, al-Hakim 1/262, 271, al-Baihaq 2/122, Ahmad 1/315, 371, dll. Hadits ini sahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Albani t dalam Shahih Kutubus Sunan.

Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (3/415), yang lebih hati-hati seluruh lafadznya diucapkan, yaitu ada tujuh kalimat sebagaimana disebutkan di atas.

2. Bacaan:

رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي.

“Wahai Rabbku, ampunilah aku. Wahai Rabbku, ampunilah aku.”

Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 897, dan dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Ibni Majah serta Irwa’ul Ghalil no. 335.

Sujud yang Kedua 

Setelah bertakbir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kembali bersujud (sujud kedua dalam shalat) dengan tata cara, ketentuan, dan bacaan yang telah disebutkan dalam pembahasan sujud (sujud yang pertama). Ulama sepakat tentang wajibnya sujud yang kedua ini, berdalil haditshadits yang sahih lagi masyhur dan ijma’/kesepakatan kaum muslimin. (al- Majmu’, 3/418)

Bangkit dari Sujud

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengangkat kepala dari sujudnya dan bertakbir untuk melanjutkan ke rakaat kedua. Apa saja yang dilakukan pada rakaat pertama juga diulang lagi pada rakaat kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda kepada orang yang salah shalatnya,

ثُمَّ اصْنَعْ ذلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَ سَجْدَةٍ. فَإِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ, فَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُكَ، وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا, اِنْتَقَصْتَ مِنْ صَلاَتِكَ.

“Kemudian lakukanlah hal tersebut pada setiap ruku’ dan sujud. Apabila kamu lakukan hal itu, sungguh telah sempurna shalatmu. Jika ada sesuatu yang kamu kurangi, berarti kamu mengurangi shalatmu.” (HR . at-Tirmidzi no. 302, 303, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Duduk Istirahat dan Bangkit Berdiri

Sebelum bangkit berdiri untuk melanjutkan ke rakaat berikutnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, duduk tegak sejenak di atas kaki kiri beliau, hingga setiap tulang kembali pada posisinya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

 أَلآ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ؟ فَصَلَّى  فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ. فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ، اسْتَوَى قَاعِدًا، ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ.

“Maukah aku gambarkan kepada kalian cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?” Lalu Malik shalat di luar waktu shalat6. Tatkala ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua pada rakaat yang awal, ia duduk tegak. Kemudian baru bangkit dengan bertumpu di atas tanah. (HR . asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198, an-Nasa’i no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)

Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824) disebutkan Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu mencontohkan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang. Ketika Ayyub, salah seorang perawi hadits ini, bertanya kepada Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan hadits ini dari Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang bagaimana cara shalat yang dicontohkan Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh kita ‘Amr ibnu Salamah, dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas bumi/tanah, kemudian baru bangkit berdiri.

Dalam hadits yang sebelumnya (no. 823) disebutkan Abu Qilabah bahwa Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu memberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bangkit ke rakaat kedua hingga beliau duduk tegak (HR . Bukhari no. 823)

Diriwayatkan pula duduk istirahat ini dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu. Adapun penyebutan duduk ini sebagai duduk istirahat, asalnya dari para fuqaha. (al-Irwa, 2/82)

Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini

Memang ada silang pendapat dalam masalah duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu di atas kedua tangan ini.

Pertama: Sunnah secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i, Abu Dawud, dan Ahmad rahimahumullah. (al-Muhalla, 3/40)

Al-Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan, orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat untuk bertumpu dengan kedua tangannya secara bersama-sama dalam rangka mengikuti sunnah, karena hal ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih membantu orang yang shalat. (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab “al- Qiyam minal Julus”)

Ibnu Hani dalam Masailnya dari al- Imam Ahmad t mengatakan (1/57),
“Aku melihat Abu Abdillah (yakni al- Imam Ahmad) kerap kali bertumpu di atas kedua tangannya ketika bangkit ke rakaat berikutnya. Kerap kali beliau duduk tegak, kemudian bangkit.”

Ibnu Hazm rahimahullah menganggap duduk istirahat ini mustahab dilakukan sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat. (al-Muhalla, 3/39)

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah setelah membawakan hadits dalam bab “Kaifa an-Nuhudh minas Sujud” (artinya: bagaimana tata cara bangkit/berdiri dari sujud) pada kitab Sunannya mengatakan, “Hal ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi. Teman-teman kami, para ulama hadits, juga berpendapat seperti ini.” Setelah membawakan hadits riwayat al-Bukhari dalam bab “Man Istawa Qa’idan fi Witrin min Shalatihi Tsumma Nahadha” (no. 823 yang telah dibawakan di atas), 

al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam penjelasannya menyatakan bahwa duduk istirahat ini disyariatkan, bukan karena hajat/ada kebutuhan. Tidak ada zikir khusus yang dibaca saat duduk ini, karena duduknya hanya sebentar sehingga ucapan takbir yang disyariatkan saat berdiri sudah cukup. (Fathul Bari 2/391)

Kedua: Tidak sunnah secara mutlak. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya:

• Hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan saat bangkit ke rakaat berikutnya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bangkit di atas kedua lutut beliau dan bersandar di atas paha beliau.” (HR . Abu Dawud no. 839, namun riwayat ini dhaif/lemah. Dinyatakan dhaif oleh al-Imam an- Nawawi t dalam al-Majmu’ 3/422. Demikian pula dalam al-Irwa no. 363)

• Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit dalam shalat (bertumpu) di atas bagian dalam kedua telapak kaki beliau.” (HR . at- Tirmidzi no. 288, namun haditsnya dhaif sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa no. 362)

Ketiga: Pendapat yang merinci. Jika duduk ini dibutuhkan karena fisik yang lemah, usia senja, sakit, dan yang semisalnya, dia duduk dahulu lalu bangkit. Namun, apabila tidak dibutuhkan, ia tidak duduk. 

Alasannya, dalam duduk ini tidak ada doa/zikir yang dibaca dan tidak ada takbir perpindahan, yang ada hanya satu takbir, yaitu takbir dari sujud ke berdiri. Karena sebelum dan sesudahnya tidak ada takbir, dan tidak ada pula zikir yang diucapkan, hal ini menunjukkan duduk ini tidaklah dimaksudkan sebagai bentuk amalan/gerakan yang disyariatkan dalam shalat sebagaimana gerakan lainnya. 

Tentang hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan Nabi n bersandar di atas kedua tangan beliau saat bangkit berdiri, mereka menyatakan bersandar pada kedua tangan umumnya karena ada kebutuhan dan karena tubuh yang berat sehingga tidak bisa bangkit terkecuali harus ada tumpuan.  Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Qudamah radhiyallahu ‘anhu sebagai wujud pengumpulan dalil yang menetapkan dan dalil yang meniadakan duduk ini. Pendapat yang merinci seperti ini memiliki kekuatan argumen daripada pendapat yang kedua, wallahu ‘alam.

Menurut pendapat yang ketiga ini, apabila orang yang shalat butuh duduk sebelum bangkit ke posisi berdiri, ia duduk dan apabila ia butuh tumpuan ia bisa bertumpu dengan kedua tangannya, bagaimana pun caranya, apakah bertumpunya di atas punggung jarijemari, seluruh jari-jemari, atau yang lain, tanpa ada tata cara tertentu. Yang penting, dilakukan apabila dibutuhkan. Apabila tidak dibutuhkan, tidak dilakukan.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, 13/182)

Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, dalam masalah ini didapatkan tiga tingkatan kekuatan argumen (yang awal lebih kuat dari yang setelahnya. –pen.):

1. Apabila ada kebutuhan, disyariatkan melakukan duduk seperti ini. Tentang hal ini, tidak ada permasalahan.

2. Disyariatkan duduk seperti ini secara mutlak, ada kebutuhan ataupun tidak. Pendapat ini memiliki kekuatan argumen atau bisa dianggap kuat.

3. Tidak disyariatkan secara mutlak, maka ini pendapat yang lemah, karena hadits yang menyebutkan duduk ini tsabit/kokoh, akan tetapi yang jadi permasalahan apakah tsabitnya karena ada kebutuhan ataukah secara mutlak? Inilah yang menjadi pembahasan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 13/383—385)

Dari tiga pendapat di atas, sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya dalam subjudul Duduk Istirahat dan Bangkit Berdiri, pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama karena tidak ada berita yang tsabit/kuat yang menentang sunnah ini, meskipun orang yang tidak mengerjakannya dalam shalatnya juga tidak diingkari. Adapun menjawab pendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, dijawab bahwa anggapan seperti ini tidak boleh dipakai untuk menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh orang. Kalau memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, bukan karena sunnah, bagaimana bisa hal tersebut tersembunyi bagi para sahabat yang mulia tersebut. Lebih-lebih lagi, di antara mereka ada Malik ibnul Huwairits  radhiyallahu ‘anhu yang menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu (yang telah dibawakan di atas), kalaupun sahih, wajib dipahami (kepada makna yang) menyepakati hadits lain yang menetapkan duduk istirahat. Sebab, dalam hadits Wail tidak disebutkan secara nyata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan duduk istirahat. Kalau pun ada secara nyata, niscaya hadits Malik ibnul Huwairits, Abu Humaid, dan para sahabat  lebih didahulukan daripada hadits Wail radhiyallahu ‘anhu, dari dua sisi:

a. Sanad-sanadnya sahih.
b. Banyak perawinya. Bisa jadi, Wail radhiyallahu ‘anhu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam satu waktu atau beberapa waktu untuk menerangkan bolehnya hal tersebut. Namun, yang sering beliau lakukan adalah apa yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih banyak. Yang lebih memperkuat adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu setelah ia shalat bersama beliau  dan menghafal ilmu dari beliau selama dua puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,

اذْهَبُوا إِلَى أَهْلِيْكُمْ، وَمُرُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian, perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!”

Semua ini ada dalam Shahih al-Bukhari dari beberapa jalan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan demikian kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan Nabi n duduk istirahat. Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan yang disunnahkan bagi setiap orang, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)

Beliau  menyatakan, “Perlu diketahui, sepantasnya bagi setiap orang untuk terus melakukan duduk ini (dalam shalatnya) karena sahihnya hadits-hadits tentang duduk ini dan tidak ada riwayat sahih yang menentangnya. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang bermudah-mudah meninggalkannya (mutasahilin). Allah Subhanahu wata’ala sungguh berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
ڃ ڃڃ
‘Katakanlah, jika memang kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ (Ali Imran: 31)

Firman-Nya,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ

Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah….’ ( al-Hasyr: 7).” (al-Majmu’, 3/420—421)

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah duduk istirahat. Mereka berfatwa sebagai berikut. Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat kepala dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan ketiga serta sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan yang termasuk kewajiban shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) dalam shalat. 

Ulama berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk ini sunnah saja, atau bukan termasuk gerakan shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya karena tubuh yang lemah karena usia, sakit, atau kegemukan?

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan sekelompok ahlul hadits berpandangan sunnah. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah. Dasar mereka adalah hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Namun, banyak ulama, di antaranya Abu Hanifah rahimahullah dan Malik rahimahullah, tidak memandang adanya duduk ini, demikian pula satu riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah.Alasannya, hadits-hadits lain tidak ada yang menyebutkan duduk ini.

Bisa jadi, duduk yang disebutkan oleh Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu tersebut dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di akhir umur beliau tatkala tubuh beliau sudah berat atau karena sebab lain. Maka dari itu, ada kelompok ketiga yang berpendapat bahwa duduk ini disyariatkan saat ada kebutuhan, dan tidak disyariatkan apabila tidak tidak dibutuhkan. Namun, yang tampak adalah duduk ini disunnahkan secara mutlak. Adapun alasan bahwa duduk ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lain tidaklah menunjukkan duduk ini tidak ada. Yang memperkuat pendapat ini adalah:

1. Hukum asal dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah beliau melakukannya untuk ditiru oleh umatnya.

2. Duduk ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus). 

Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu menjelaskan tata cara shalat Nabi n di tengah-tengah sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448, Ketua: asy- Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, dan Anggota: Abdullah bin Ghudayyan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari