QIYAMUL LAIL
(SHOLAT MALAM)
Ditulis OLeh Al Ustadz Abu Utsman
Kharisman
Sesungguhnya
qiyamul lail (sholat malam) adalah kemulyaan bagi kaum beriman dan merupakan
amalan yang bisa memasukkan seseorang ke dalam Jannah.
Jibril berkata:
يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ
Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mukmin adalah
qiyaamul lail (H.R atThobarony, dishahihkan al-Hakim dan disepakati
keshahihannya oleh adz-Dzahaby)
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى
ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا فَقَالَ أَبُو مُوسَى
الْأَشْعَرِيُّ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ
وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا وَالنَّاسُ نِيَامٌ
Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang bisa
terlihat bagian luarnya dari dalamnya dan bagian dalamnya dari luarnya. Abu
Musa bertanya: Untuk siapa itu wahai Rasulullah? Rasul bersabda: untuk orang
yang baik (lembut) dalam ucapannya, memberi makan, dan begadang di waktu malam
dengan qiyaamul lail pada saat manusia tertidur (H.R Ahmad, atThobarony, Abu
Ya’la, dishahihkan al-Hakim, dan dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Bushiry dan
al-Mundziri).
أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا
الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
Sebarkan salam, berilah makan, sholatlah (di waktu
malam) pada saat manusia tidur, niscaya kalian masuk ke dalam surga dengan
selamat (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh
adz-Dzahaby)
Bahkan qiyaamul lail bisa menjadi sebab seseorang
terselamatkan dari adzab anNaar.
Pada saat Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) sedang tidur
di masjid waktu beliau masih bujang, beliau bermimpi dibawa oleh dua Malaikat
menuju ke arah anNaar, hingga beliau berdoa kepada Allah: Aku berlindung kepada
Allah dari anNaar, beliau ucapkan itu tiga kali.
Kemudian beliau bertemu dengan satu Malaikat lagi yang
menyatakan: janganlah takut, karena engkau adalah seorang yang sholih (baik).
Kemudian Ibnu Umar bangun dari tidurnya, dan keesokan
harinya ia ceritakan hal itu kepada Hafshah (saudara perempuannya yang
merupakan istri Nabi shollallahu alaihi wasallam).
Hafshah menceritakan mimpi Abdullah bin Umar itu
kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.
Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam kemudian
bersabda:
إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَجُلٌ صَالِحٌ
لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
Sesungguhnya Abdullah adalah seorang yang sholih kalau
seandainya ia sholat malam (H.R al-Bukhari no 6510)
Dalam riwayat lain Nabi menyatakan:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي
مِنَ اللَّيْلِ
Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (bin Umar) jika
dia sholat malam (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Sejak saat itu, Abdullah bin Umar senantiasa menjaga
qiyaamul lail. Tidak tidur di waktu malam kecuali sedikit.
Ibnu Batthol di dalam syarh Shahih al-Bukhari
menjelaskan: di dalam hadits ini (terdapat faidah) bahwa qiyaamul lail bisa
menyelamatkan seseorang dari anNaar.
Sangat banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan
qiyaamul lail yang menunjukkan semestinya kita bersemangat dalam
mengerjakannya.
Janganlah seseorang menyengaja meninggalkan qiyaamul
lail kecuali karena sebab sakit, capek yang sangat, safar, dan udzur lain.
Semestinya seseorang ketika akan tidur malam ia
berniat untuk bangun qiyaamul lail. Kalau ternyata sudah berniat bangun namun
ketiduran, Alhamdulillah itu shodaqoh dari Allah, tercatat kita melakukan
qiyaamul lail (padahal tidur).
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ
فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ كُتِبَ لَهُ
مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
Barangsiapa yang mendatangi tempat tidurnya dalam
keadaan berniat ia akan bangun qiyaamul lail (sholat malam) kemudian dikalahkan
oleh perasaan kantuk hingga pagi, maka tercatat apa yang diniatkannya. Dan
tidurnya adalah shodaqoh dari Tuhannya (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh
al-Albany)
Kalau seandainya dalam dugaan kuat ia tidak akan bisa
bangun sebelum Subuh, maka ia bisa melakukan qiyaamul lail (witir) sebelum
tidur.
Sebagaimana wasiat Nabi shollallahu alaihi wasallam
kepada tiga orang Sahabat: Abu Hurairah, Abu Dzar, dan Abud Darda’ radhiyallahu
anhum :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ
قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata:
Kekasihku (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal:
Puasa tiga hari tiap bulan, dua rokaat di waktu Dhuha, dan berwitir sebelum aku
tidur (H.R al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةٍ لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
تَعَالَى أَبَدًا أَوْصَانِي بِصَلَاةِ الضُّحَى وَبِالْوَتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ
وَبِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu- beliau berkata:
Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat
kepadaku 3 hal yang aku insyaAllah tidak akan meninggalkannya selama-lamanya.
Ia mewasiatkan kepadaku:
1.
dengan sholat
Dhuha dan
2.
witir sebelum
tidur dan
3.
puasa 3 hari
pada setiap bulan
(H.R anNasaai, dishahihkan al-Albany)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ
بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لَا
أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata:
Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat
kepadaku 3 hal yang aku tidak akan meninggalkannya sepanjang hidupku:
1.
Puasa 3 hari
tiap bulan,
2.
sholat Dhuha,
dan
3.
agar aku tidak
tidur hingga aku melakukan witir
(H.R Muslim)
Jika seseorang menyengaja meninggalkan sholat witir
secara terus menerus, maka ia adalah seorang yang jelek, yang tidak diterima
persaksiaannya, menurut al-Imam Ahmad (lihat al-Mughni karya Ibnu Qudaamah
(3/378), as-Showaa-‘iqul Mursalah karya Ibnul Qoyyim (4/1348)), syarh Riyadhis
Sholihin libni Utsaimin).
Maka yang harus dilakukan adalah berusaha untuk selalu
melakukan qiyaamul lail, dan berjuang berjihad melawan hawa nafsu menolak
perasaan ‘ujub dalam diri.
Kita harus menyadari bahwa belum tentu sholat yang
kita lakukan diterima oleh Allah, maka apa yang menyebabkan kita merasa bangga
dengan amalan kita kalau amalan itu belum tentu diterima?
Karena itu disunnahkan untuk memperbanyak istighfar di
akhir malam (di waktu sahur) setelah kita melakukan qiyaamul lail, salah
satunya sebagai bentuk pengakuan demikian kurangnya ibadah sholat malam yang
kita persembahkan kepada Allah tersebut.
Jika ada pernyataan: Bukankah yang rajin qiyaamul lail
tidak mesti masuk surga?
Jawabannya ya, tidak mesti masuk Surga. Jika yang
qiyaamul lail saja belum tentu masuk Surga, apalagi yang tidak qiyaamul lail.
Perlu dipahami, bahwa qiyaamul lail adalah Sunnah
Muakkadah.
Jika seseorang gemar melakukan yang sunnah-sunnah
(nafilah), tapi ia melakukan dosa besar dengan mengerjakan yang haram atau
meninggalkan kewajiban, maka ia terancam dengan anNaar.
Contohnya adalah seorang yang ahli ibadah suka
mengerjakan yang nafilah (sunnah) tapi sering menyakiti tetangga (yang itu dosa
besar), maka ia terancam dengan anNaar.
Demikian juga orang yang banyak puasa sunnah, banyak
qiyaamul lail, tapi ia tidak pernah sholat Jumat padahal ia seorang laki-laki,
maka ia terancam dengan anNaar.
Kondisi mereka itu masih kalah dengan orang yang hanya
mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, meski kurang dalam hal
nafilah. Berikut ini adalah dalilnya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ :
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ فُلَانَةَ تَقُوْمُ
اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ ، وَتَصَدَّقَ وَتَفْعَلَ ، وَتُؤْذِي
جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
: لَا خَيْرَ
فِيْهَا ، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالُوْا : وَفُلَانَةُ تُصَلِّي
الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقَ بِأَثْوَارٍ وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu- beliau berkata:
Ditanyakan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam : Sesungguhnya fulaanah
sering qiyaamul lail dan puasa di siang hari, bershodaqoh, dan melakukan
amalan-amalan, tapi ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak
ada kebaikan padanya. Ia termasuk penduduk anNaar.
Mereka berkata: dan fulaanah yang sholat lima waktu,
bershodaqoh dengan keju, dan ia tidak menyakiti siapapun, Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam bersabda: ia termasuk penduduk Jannah (H.R Ahmad,
al-Bukhari dalam Adabul Mufrod, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Bushiriy dan
dishahihkan al-Albany)
وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ النَّهَارَ
وَيَقُومُ اللَّيْلَ لَا يَشْهَدُ جُمْعَةً وَلَا جَمَاعَةً قَالَ هُوَ فِي
النَّارِ
Dan Ibnu Abbas ditanya tentang seorang laki-laki yang
sering berpuasa di siang hari dan melakukan qiyaamul lail di malam hari tapi ia
tidak menghadiri sholat Jumat dan sholat berjamaah (di masjid), Ibnu Abbas
menyatakan: dia di anNaar (Sunan atTirmidzi)
Dua dalil di atas memberikan faidah kepada kita untuk
jangan hanya semangat pada hal-hal yang nafilah saja dan melupakan sesuatu yang
nilainya lebih substansial yaitu melakukan kewajiban dan menjauhi larangan.
Seorang semangat puasa sunnah, dan qiyaamul lail, tapi
ia meremehkan masalah isbal, celana atau sarungnya dibiarkan melewati mata
kaki, padahal itu dosa besar.
Atau, pihak yang semangat mendakwahkan hal-hal yang
nafilah: sholat sunnah, shodaqoh sunnah, membaca al-Quran. puasa sunnah,
tebarkan salam, cara makan yang sunnah, dan sebagainya, tapi ia melalaikan
hal-hal yang wajib seperti Tauhid.
Ia biarkan orang berbuat kesyirikan: berdoa kepada
selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, memakai jimat, tathoyyur, dan
seterusnya.
Itu adalah kesalahan.
Jika ada pernyataan : Bukankah terdapat beberapa kisah
para Salaf yang lebih mementingkan amalan lain dibandingkan qiyaamul lail?
Jawabannya: Ya. Namun, itu tidak menunjukkan bahwa
mereka meremehkan qiyaamul lail.
Pertama, Kejadian itu
hanya terjadi sehari atau beberapa hari saja, dan mereka memilih untuk tidak
mengerjakan qiyaamul lail pada saat itu karena ada urusan lain yang lebih
penting yang tidak bisa ditunda.
Contoh, saat kaki ibunya sakit, ia memijit kaki ibunya
sepanjang malam dan ia menganggap itu lebih baik dibanding qiyaamul lail pada
saat itu.
Bukan berarti ia meninggalkan qiyaamul lail di waktu
yang lain juga. Hanya saja ia tinggalkan qiyaamul lail pada waktu itu karena
ada yang jauh lebih penting untuk didahulukan, yaitu berbakti kepada ibu yang
itu adalah wajib.
Contoh lain, kisah menginapnya al-Imam asy-Syafi’i di
rumah al-Imam Ahmad. Pada malam itu air wudhu’ yang disediakan untuk qiyaamul
lail tidak terjamah.
Menunjukkan bahwa al-Imam asy-Syafi’i tidak melakukan
qiyaamul lail. Tapi begadangnya al-Imam asy-Syafii itu adalah karena beliau
sedang mengkaji permasalahan ilmu.
Beliau tadabbur ayat al-Quran hingga melahirkan
istinbath yang begitu banyak hingga Subuh.
Hal itu bukan sesuatu yang disengaja untuk
meninggalkan qiyaamul lail, namun untuk melakukan amalan yang lebih penting
yang tidak bisa ditunda.
Bisa jadi ada pertanyaan yang beliau harus jawab
keesokan harinya, padahal beliau sedang tidak berada di rumah.
Maka terkumpulkannya faidah malam itu dari hasil
tadabbur adalah suatu hal yang tidak boleh disia-siakan dan ditunda serta perlu
segera dicatat.
Tapi karena demikian asyiknya dengan lezatnya ilmu itu
hingga tanpa sadar sudah masuk waktu Subuh belum sempat qiyaamul lail.
Hal yang demikian kurang lebih sama dengan yang
dilakukan oleh al-Imam al-Bukhari. Dalam suatu malam beliau akan tidur, tapi
teringat suatu hadits, kemudian beliau nyalakan lampu dan beliau catat hadits
itu.
Ketika akan tidur lagi, beliau ingat satu hadits lagi,
yang faidahnya sayang untuk dilewatkan, maka beliau nyalakan lampu lagi,
kemudian catat lagi, demikian seterusnya.
Hingga hal itu berlangsung belasan kali. Maka apa yang
dilakukan asy-Syafii pada waktu itu bukanlah kesengajaan untuk meninggalkan
qiyaamul lail, tapi mengerjakan hal lain yang lebih utama – karena menuntut
ilmu adalah lebih utama dibandingkan sholat malam- hingga ternyata tanpa
sengaja qiyaamul lail akhirnya terlewatkan.
Kedua, tersebutkan
dalam riwayat yang lain bahwa Ulama Salaf itu memakmurkan malamnya di
waktu-waktu yang lain dengan qiyaamul lail.
Contohnya al-Imam asy-Syafii. Beliau menghidupkan
sepertiga malam dengan sholat.
arRabi’ bin Sulaiman menyatakan:
كان الشافعي قد جزأ الليل ثلاثة أجزاء الثلث الأول يكتب
والثلث الثاني يصلي والثلث الثالث ينام
Asy-Syafi’i membagi malam menjadi 3 bagian: Sepertiga
yang pertama menulis (ilmu), sepertiga yang kedua sholat, dan sepertiga yang
ketiga tidur (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’ (9/135)). Demikian,
semoga bermanfaat…
wa Al I’tishom
Sumber Artikel:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar