1. Duduk dengan thuma’ninah
Ketika duduk di antara dua sujud,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk thuma’ninah,
duduk dengan tenang dan batasannya adalah gerakan sebelumnya tidak tampak lagi
(Fathul Bari, 2/357).
Beliau melakukan duduk ini dengan lama hingga
mendekati lama sujudnya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits al-Barra ibnu
‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كاَنَ رُكُوْعُ رَسُوْلِ اللهِ ،
وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ، وَسُجُوْدُهُ، وَمَا بَيْنَ
السَّجَدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.
“Adalah ruku’ Rasulullah n , mengangkat
kepalanya (bangkit) dari ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujudnya, hampir
sama lamanya.” (HR . al-Bukhari no. 792, 820 dan Muslim no.
1057)
Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam duduk sangat lama, sebagaimana dicontohkan Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu yang dikabarkan oleh Tsabit al-Bunani, murid Anas radhiyallahu
‘anhu. Disebutkan bahwa Anas berkata, “Aku akan shalat di hadapan kalian
sebagaimana tata cara yang pernah aku lihat dari Rasulullah n saat shalat di
hadapan kami.”
Kata Tsabit, “Dalam shalat tersebut (yang
dicontohkan/diajarkan kepada kami) Anas melakukan sesuatu yang aku tidak pernah
melihat kalian melakukannya. Bila ia bangkit dari ruku’, ia berdiri lurus
(lama) hingga ada orang yang berkata, ‘Sungguh ia lupa.’ Bila ia duduk di
antara dua sujud (dalam riwayat Muslim: dan bila ia mengangkat kepalanya dari
sujud), ia diam lama, hingga ada yang berkata, ‘Sungguh ia lupa’.” (HR .
al-Bukhari no. 821 dan Muslim no. 1060)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mmengatakan, sunnah ini telah ditinggalkan banyak orang setelah berlalunya masa
sahabat, karena itulah Tsabit pernah berkata, “Anas melakukan sesuatu yang aku
tidak pernah melihat kalian melakukannya. Ia duduk lama saat duduk di antara
dua sujud hingga kami berkata, ‘Anas lupa’.” (Zadul Ma’ad, 1/60—61)
Di saat duduk di antara dua sujud ini, disenangi
meletakkan kedua tangan di atas kedua paha dekat dengan kedua lutut, siku
berada di atas paha, sedangkan ujung jari di atas lutut dalam keadaan
jari-jemari ini agak direnggangkan dan dihadapkan ke arah kiblat. (al-Majmu’,
3/415, Zadul Ma’ad, 1/60)
Amalan duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
dalam pelaksanaannya hukumnya wajib menurut pendapat yang rajih (kuat) dan
ini merupakan pendapat kebanyakan/jumhur ulama, menyelisihi pendapat Abu
Hanifah yang mengatakan tidak wajib. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, kepada orang yang salah shalatnya,
“Kemudian angkat kepalamu (dari sujud) hingga
engkau duduk tenang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, sedangkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi
meriwayatkannya dari Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. (al-Majmu’,
3/418)
Di saat duduk di antara dua sujud ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah membaca zikir dan
doa di bawah ini.
اللَّهُمَّ
(وَفِي لَفْظٍ: رَبِّ) اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي،
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي
“Ya Allah (dalam satu lafadz: Wahai Rabbku),
ampunilah aku, rahmatilah aku, [perbaikilah aku]2, [angkatlah derajatku]3,
berilah petunjuk kepadaku, [hapuskanlah dosaku]4, dan berilah rezeki kepadaku.”
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang dikeluarkan Abu Dawud no. 850, at- Tirmidzi no. 284, Ibnu Majah no. 898,
al-Hakim 1/262, 271, al-Baihaq 2/122, Ahmad 1/315, 371, dll. Hadits ini sahih
sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Albani t dalam Shahih Kutubus
Sunan.
Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah
dalam al-Majmu’ (3/415), yang lebih hati-hati seluruh lafadznya
diucapkan, yaitu ada tujuh kalimat sebagaimana disebutkan di atas.
رَبِّ
اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي.
“Wahai Rabbku, ampunilah aku. Wahai Rabbku,
ampunilah aku.”
Sujud yang Kedua
Setelah bertakbir, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, kembali bersujud (sujud kedua dalam shalat) dengan tata
cara, ketentuan, dan bacaan yang telah disebutkan dalam pembahasan sujud (sujud
yang pertama). Ulama sepakat tentang wajibnya sujud yang kedua ini, berdalil
haditshadits yang sahih lagi masyhur dan ijma’/kesepakatan kaum muslimin. (al-
Majmu’, 3/418)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengangkat kepala dari sujudnya dan bertakbir untuk melanjutkan ke rakaat
kedua. Apa saja yang dilakukan pada rakaat pertama juga diulang lagi pada
rakaat kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda kepada
orang yang salah shalatnya,
ثُمَّ
اصْنَعْ ذلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَ سَجْدَةٍ. فَإِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ, فَقَدْ
تَمَّتْ صَلاَتُكَ، وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا, اِنْتَقَصْتَ مِنْ
صَلاَتِكَ.
“Kemudian lakukanlah hal tersebut pada setiap
ruku’ dan sujud. Apabila kamu lakukan hal itu, sungguh telah sempurna shalatmu.
Jika ada sesuatu yang kamu kurangi, berarti kamu mengurangi shalatmu.” (HR
. at-Tirmidzi no. 302, 303, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan
at-Tirmidzi)
Sebelum bangkit berdiri untuk melanjutkan ke rakaat berikutnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, duduk tegak sejenak di atas kaki kiri beliau, hingga setiap tulang kembali pada posisinya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَلآ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلاَةِ
رَسُوْلِ اللهِ؟ فَصَلَّى فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ. فَإِذَا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ، اسْتَوَى قَاعِدًا،
ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ.
“Maukah aku gambarkan kepada kalian cara
shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?” Lalu Malik shalat di luar
waktu shalat6. Tatkala ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua pada
rakaat yang awal, ia duduk tegak. Kemudian baru bangkit dengan bertumpu di atas
tanah. (HR . asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198, an-Nasa’i
no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat
Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824)
disebutkan Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu mencontohkan
shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang.
Ketika Ayyub, salah seorang perawi hadits ini, bertanya kepada
Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan hadits ini dari Malik
radhiyallahu ‘anhu, tentang bagaimana cara shalat yang dicontohkan
Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh
kita ‘Amr ibnu Salamah, dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat
kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas bumi/tanah,
kemudian baru bangkit berdiri.
Dalam hadits yang sebelumnya (no. 823)
disebutkan Abu Qilabah bahwa Malik ibnul Huwairits radhiyallahu
‘anhu memberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak bangkit ke rakaat kedua hingga beliau duduk tegak (HR . Bukhari
no. 823)
Diriwayatkan pula duduk istirahat ini dari Abu
Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu. Adapun penyebutan duduk ini sebagai
duduk istirahat, asalnya dari para fuqaha. (al-Irwa, 2/82)
Memang ada silang pendapat dalam masalah duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu di atas kedua tangan ini.
Pertama: Sunnah secara mutlak. Ini adalah
pendapat al-Imam asy-Syafi’i, Abu Dawud, dan Ahmad rahimahumullah. (al-Muhalla,
3/40)
Al-Imam Syafi’i rahimahullah
menyatakan, orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat untuk
bertumpu dengan kedua tangannya secara bersama-sama dalam rangka mengikuti
sunnah, karena hal ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih membantu orang
yang shalat. (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab “al- Qiyam minal Julus”)
“Aku melihat Abu Abdillah (yakni al- Imam Ahmad)
kerap kali bertumpu di atas kedua tangannya ketika bangkit ke rakaat
berikutnya. Kerap kali beliau duduk tegak, kemudian bangkit.”
Ibnu Hazm rahimahullah
menganggap duduk istirahat ini mustahab dilakukan sebelum bangkit ke
rakaat kedua dan keempat. (al-Muhalla, 3/39)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah
setelah membawakan hadits dalam bab “Kaifa an-Nuhudh minas Sujud” (artinya:
bagaimana tata cara bangkit/berdiri dari sujud) pada kitab Sunannya
mengatakan, “Hal ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi. Teman-teman kami, para
ulama hadits, juga berpendapat seperti ini.” Setelah membawakan hadits riwayat
al-Bukhari dalam bab “Man Istawa Qa’idan fi Witrin min Shalatihi Tsumma
Nahadha” (no. 823 yang telah dibawakan di atas),
al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani rahimahullah dalam penjelasannya menyatakan bahwa duduk
istirahat ini disyariatkan, bukan karena hajat/ada kebutuhan. Tidak ada zikir
khusus yang dibaca saat duduk ini, karena duduknya hanya sebentar sehingga
ucapan takbir yang disyariatkan saat berdiri sudah cukup. (Fathul Bari 2/391)
Kedua: Tidak sunnah secara mutlak. Mereka
berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya:
• Hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu,
ia menyampaikan saat bangkit ke rakaat berikutnya, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, bangkit di atas kedua lutut beliau dan bersandar di atas
paha beliau.” (HR . Abu Dawud no. 839, namun riwayat ini dhaif/lemah.
Dinyatakan dhaif oleh al-Imam an- Nawawi t dalam al-Majmu’ 3/422.
Demikian pula dalam al-Irwa no. 363)
• Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit
dalam shalat (bertumpu) di atas bagian dalam kedua telapak kaki
beliau.” (HR . at- Tirmidzi no. 288, namun haditsnya dhaif sebagaimana
disebutkan dalam al-Irwa no. 362)
Alasannya, dalam duduk ini tidak ada doa/zikir yang dibaca dan tidak ada takbir
perpindahan, yang ada hanya satu takbir, yaitu takbir dari sujud ke berdiri.
Karena sebelum dan sesudahnya tidak ada takbir, dan tidak ada pula zikir yang
diucapkan, hal ini menunjukkan duduk ini tidaklah dimaksudkan sebagai bentuk
amalan/gerakan yang disyariatkan dalam shalat sebagaimana gerakan lainnya.
Tentang hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang
menyebutkan Nabi n bersandar di atas kedua tangan beliau saat bangkit berdiri,
mereka menyatakan bersandar pada kedua tangan umumnya karena ada kebutuhan dan
karena tubuh yang berat sehingga tidak bisa bangkit terkecuali harus ada
tumpuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Qudamah radhiyallahu
‘anhu sebagai wujud pengumpulan dalil yang menetapkan dan dalil yang
meniadakan duduk ini. Pendapat yang merinci seperti ini memiliki kekuatan
argumen daripada pendapat yang kedua, wallahu ‘alam.
Menurut pendapat yang ketiga ini, apabila orang
yang shalat butuh duduk sebelum bangkit ke posisi berdiri, ia duduk dan apabila
ia butuh tumpuan ia bisa bertumpu dengan kedua tangannya, bagaimana pun
caranya, apakah bertumpunya di atas punggung jarijemari, seluruh jari-jemari,
atau yang lain, tanpa ada tata cara tertentu. Yang penting, dilakukan apabila
dibutuhkan. Apabila tidak dibutuhkan, tidak dilakukan.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Muhammad ibn Shalih
al-Utsaimin, 13/182)
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menyatakan, dalam masalah ini didapatkan tiga tingkatan kekuatan argumen (yang
awal lebih kuat dari yang setelahnya. –pen.):
1. Apabila ada kebutuhan, disyariatkan melakukan
duduk seperti ini. Tentang hal ini, tidak ada permasalahan.
2. Disyariatkan duduk seperti ini secara mutlak,
ada kebutuhan ataupun tidak. Pendapat ini memiliki kekuatan argumen atau bisa
dianggap kuat.
Dari tiga pendapat di atas, sebagaimana telah
kami isyaratkan sebelumnya dalam subjudul Duduk Istirahat dan Bangkit
Berdiri, pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama karena tidak ada
berita yang tsabit/kuat yang menentang sunnah ini, meskipun orang yang
tidak mengerjakannya dalam shalatnya juga tidak diingkari. Adapun menjawab
pendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya
karena ada kebutuhan, dijawab bahwa anggapan seperti ini tidak boleh dipakai
untuk menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh orang. Kalau memang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya karena ada
kebutuhan, bukan karena sunnah, bagaimana bisa hal tersebut tersembunyi bagi
para sahabat yang mulia tersebut. Lebih-lebih lagi, di antara mereka ada Malik
ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang menyampaikan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,
“Adapun hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu (yang telah
dibawakan di atas), kalaupun sahih, wajib dipahami (kepada makna yang)
menyepakati hadits lain yang menetapkan duduk istirahat. Sebab, dalam hadits
Wail tidak disebutkan secara nyata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam meninggalkan duduk istirahat. Kalau pun ada secara nyata, niscaya
hadits Malik ibnul Huwairits, Abu Humaid, dan para sahabat lebih
didahulukan daripada hadits Wail radhiyallahu ‘anhu, dari dua sisi:
b. Banyak perawinya. Bisa jadi, Wail radhiyallahu
‘anhu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam
satu waktu atau beberapa waktu untuk menerangkan bolehnya hal tersebut.
Namun, yang sering beliau lakukan adalah apa yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang lebih banyak. Yang lebih memperkuat adalah sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, kepada Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu
setelah ia shalat bersama beliau dan menghafal ilmu dari beliau selama
dua puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,
اذْهَبُوا
إِلَى أَهْلِيْكُمْ، وَمُرُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian,
perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat!”
Semua ini ada dalam Shahih al-Bukhari dari
beberapa jalan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan demikian
kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan Nabi n duduk istirahat.
Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan yang disunnahkan bagi
setiap orang, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)
Beliau menyatakan, “Perlu diketahui,
sepantasnya bagi setiap orang untuk terus melakukan duduk ini (dalam shalatnya)
karena sahihnya hadits-hadits tentang duduk ini dan tidak ada riwayat sahih
yang menentangnya. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang bermudah-mudah
meninggalkannya (mutasahilin). Allah Subhanahu wata’ala sungguh
berfirman,
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
ڃ ڃڃ
‘Katakanlah, jika memang kalian mencintai
Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian.’ (Ali Imran: 31)
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
‘Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian,
maka ambillah….’ ( al-Hasyr: 7).” (al-Majmu’, 3/420—421)
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang
saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
ketika ditanya tentang masalah duduk istirahat. Mereka berfatwa
sebagai berikut. Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat
kepala dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan
ketiga serta sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan
yang termasuk kewajiban shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah)
dalam shalat.
Ulama berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk
ini sunnah saja, atau bukan termasuk gerakan shalat sama sekali,
atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya karena tubuh yang
lemah karena usia, sakit, atau kegemukan?
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan
sekelompok ahlul hadits berpandangan sunnah. Ini juga merupakan salah satu
riwayat dari dua riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah. Dasar mereka adalah
hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Namun, banyak ulama, di
antaranya Abu Hanifah rahimahullah dan Malik rahimahullah, tidak
memandang adanya duduk ini, demikian pula satu riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah.Alasannya,
hadits-hadits lain tidak ada yang menyebutkan duduk ini.
Bisa jadi, duduk yang disebutkan oleh Malik ibnul
Huwairits radhiyallahu ‘anhu tersebut dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, di akhir umur beliau tatkala tubuh beliau sudah berat
atau karena sebab lain. Maka dari itu, ada kelompok ketiga yang berpendapat
bahwa duduk ini disyariatkan saat ada kebutuhan, dan tidak disyariatkan apabila
tidak tidak dibutuhkan. Namun, yang tampak adalah duduk ini disunnahkan secara
mutlak. Adapun alasan bahwa duduk ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang
lain tidaklah menunjukkan duduk ini tidak ada. Yang memperkuat pendapat ini
adalah:
1. Hukum asal dari perbuatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, adalah beliau melakukannya untuk ditiru oleh umatnya.
2. Duduk ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid
as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad
dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus).
Abu Humaid radhiyallahu
‘anhu menjelaskan tata cara shalat Nabi n di tengah-tengah sepuluh orang
sahabat, dan mereka membenarkannya. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448,
Ketua: asy- Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, dan Anggota: Abdullah
bin Ghudayyan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar