Cara Bangkit ke Rakaat Berikutnya
Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Maukah kalian aku ajarkan cara shalat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam?” Beliau pun mencontohkan dengan melakukan shalat, namun
bukan di waktu shalat. Ketika beliau mengangkat kepalanya di sujud yang kedua
dalam rakaat pertama, beliau duduk sejenak, lalu bangkit bertumpu1 (dengan
kedua tangannya) di atas bumi. (HR. an-Nasai no. 1153, asy-Syafi’I
dalam al-Umm no.199, al-Baihaqi 2/124 dan135. Hadits ini
dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasai)
Dari hadits ini dipahami, ketika bangkit dari
duduk istirahat atau tasyahud awal disunnahkan bertumpu dengan kedua tangan di
atas bumi sebagaimana pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Makhul,
Umar ibnu Abdil ‘Aziz, al-Hasan, Ibnu Abi Zakariya, al-Qasim Abu Abdirrahman,
Abu Makhramah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad rahimahullah, dan selainnya
dari kalangan ulama. (Sunanul Kubra Bab al-’Itimad bilyadain ‘alal
Ardhi idza Qama minat Tasyahud Qiyasan ‘alan Nuhudh minar Rak’al
Ula dan al-Isyraf ‘ala Madzhabil ‘Ulama, 2/38)
Pemahaman ini disepakati oleh seluruh ulama.
Hanya saja, di antara mereka para ulama ada yang berpandangan hal itu dilakukan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena faktor ketuaan,
sebagaimana al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah dalam al- Isyraf
2/38 menukilkan pandangan tersebut dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,
an-Nakhai, ats- Tsauri, dan yang lainnya. Al – Imam asy – Syafi ’i rahimahullah
menyatakan dalam kitabnya al-Umm (bab “al-Qiyam minal Julus”), “Inilah
yang kami pandang, sehingga kami menyuruh orang yang bangkit dari sujud atau
duduk istirahat dalam shalat agar ia bertumpu dengan kedua tangannya secara
bersamaan di atas permukaan bumi dalam rangka mengikuti sunnah.”
Dari Azraq ibnu Qais rahimahullah, ia
menyatakan, “Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, apabila bangkit
dari dua rakaat, beliau bertumpu dengan kedua tangannya di atas permukaan bumi.
Maka aku tanyakan kepada anaknya dan para sahabatnya, ‘Apakah Ibnu Umar
melakukannya karena tua?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, memang demikianlah yang
biasa beliau lakukan’.” (HR. al-Baihaqi 2/135, riwayat ini jayyid sebagaimana
dalam adh-Dhaifah, 2/392)
Dalam riwayat ath-Thabarani rahimahullah
di al-Ausath disebutkan, “Aku (Azraq) bertanya kepada Ibnu Umar, “Kenapa
anda melakukan seperti ini?” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
menjawab, “(Aku melakukannya) karena aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam melakukannya.” Abu Ishaq al-Harbi dalam Gharibul Hadits
meriwayatkan juga dari Azraq ibnu Qais menyatakan, “Aku pernah melihat Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan ‘ajn dalam shalat, yaitu
bertumpu dengan kedua tangannya (di atas bumi) di saat bangkit. Aku pun
bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukannya, maka ia menjawab, ‘Aku pernah
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya’.”
(sanadnya hasan sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)
Makna ‘Ajn
Hadits ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
di atas menyebutkan “melakukan ‘ajn dalam shalat”,
dan kita dapatkan ulama berbeda pendapat dalam memaknakannya.
Sebagian ulama
memaknainya dengan makna zahirnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Atsir rahimahullah
dalam an-Nihayah, yaitu bertumpu dengan kedua tangan di atas bumi
sebagaimana seseorang yang mengadon tepung. Adapun yang lainnya, sebagaimana
yang dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’
(3/421), memaknakan ‘ajn dalam shalat ialah bangkit berdiri dalam
keadaan bertumpu dengan bagian dalam kedua telapak tangan sebagaimana orang
yang ‘ajiz/lemah ( الْعَاجِزُ )
bertumpu karena tua renta. Maknanya bukan ‘ajin al-’ajiin عاَجَنَ الْعَجِينَ : orang yang
mengadon ‘ajin/adonan tepung. Pendapat ini dinukilkan juga sebelumnya
dari Ibnu Shalah dan yang lainnya. (at-Talkhish, 1/423—424)
Hikmah Bertumpu dengan Kedua Tangan di Atas
Bumi
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya (bertumpu dengan kedua tangan ke atas bumi, –pen.) itu lebih
dekat ke sikap tawadhu’, mempermudah orang yang menjalankan shalat, dan lebih
aman dari risiko jatuh.” (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab
“al-Qiyamu minal Julus”)
Faedah
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan bertumpu
di atas permukaan bumi lemah sebagaimana dijelaskan hal ini oleh al-Imam
al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits
Adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah (no. 967, 968)
Rakaat Kedua
Saat bangkit ke rakaat kedua, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mengawalinya dengan membaca surah al-Fatihah sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ
رَسُولُ اللهِ إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ افْتَتَحَ
الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Apabila bangkit ke rakaat kedua,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka bacaan dengan
‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan tidak diam.” (HR. Muslim no.
1355)
Dalam rakaat kedua ini, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam melakukan amalan yang sama dengan apa yang beliau
lakukan di rakaat pertama sampai selesai sujud yang kedua. Hanya saja beliau
menjadikan rakaat kedua lebih pendek bila dibandingkan dengan rakaat pertama.
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan bacaan dalam shalat zuhur bahwa
bacaan beliau pada rakaat kedua lebih pendek daripada rakaat pertama. Abu
Qatadah radhiyallahu ‘anhu memberitakan,
كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنَ الصَّلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ يَطُوْلُ فِي الْأُوْلى وَيُقَصِّرُ فِي
الثَّانِيَةِ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam dua rakaat yang awal dari shalat zuhur membaca Ummul Kitab
(al-Fatihah) dan dua surat2, beliau memanjangkan bacaan pada rakaat yang
pertama dan pada rakaat kedua lebih pendek.” (HR. al-Bukhari no. 759
dan Muslim no. 1012)
Tasyahud Awal
Seusai sujud yang kedua pada rakaat kedua, Rasulullah
n tidak bangkit berdiri seperti yang beliau lakukan dalam rakaat pertama,
tetapi duduk untuk bertasyahud awal. Amalan ini dinamakan tasyahud
karena di dalamnya ada penyebutan syahadat yang haq, yaitu mempersaksikan hanya
Allah Subhanahuwata’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar. Walau di
saat tasyahud ada penyebutan zikir-zikir yang lain, namun karena
mulianya syahadat yang disebut di dalamnya, dipakailah sebagai istilah untuk
amalan shalat yang satu ini. (at-Taudihul Ahkam, 2/271) Tasyahud itu ada
dua, yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir. Apabila
shalat yang dikerjakan berjumlah dua rakaat, seperti shalat subuh, tasyahudnya
hanya sekali. Adapun yang jumlahnya lebih dari dua rakaat, tasyahud dilakukan
dua kali, kecuali shalat witir yang dikerjakan tiga rakaat secara langsung,
dilakukan tasyahud hanya sekali, yaitu pada rakaat yang terakhir (rakaat
ketiga). Hal ini untuk membedakannya dengan shalat maghrib3. Insya Allah keterangan
yang berkenaan dengan shalat witir akan dibahas secara khusus dalam penjelasan
tentang shalat-shalat sunnah.
Hukum Tasyahud Awal
Ulama bersepakat tentang disyariatkannya tasyahud
awal. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya wajib atau sunnah?
Yang memandang wajib di antaranya ialah al-Laits, Ishaq, Abu Tsaur, Dawud
azh-Zhahiri, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, satu pendapat asy-Syafi’I
dan satu riwayat dari mazhab Hanafi, demikian pula Ibnu Hazm azh-Zhahiri dan
fuqaha ahli hadits. (al-Muhalla 2/300, al-Bidayah al-Mujtahid hlm.
123, al-Hawi al-Kabir 2/132, Fathul Bari 2/401).
Dalil mereka di antaranya:
• hadits perintah kepada orang yang salah
shalatnya (al-musi’u shalatahu)
• hadits keseriusan pengajaran Nabi n tentang
tasyahud kepada sahabat sebagaimana seriusnya beliau mengajarkan al-Qur’an kepada
mereka
• amalan yang terus-menerus beliau lakukan dalam
shalatnya, dan ketika terlupakan beliau pun sujud sahwi karenanya. Hal ini
seperti yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Buhainah radhiyallahu
‘anhu,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ ا
وْألُْ لَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ. فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى
الصَّلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيْمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسٌ، فَسَجَدَ
سَجَدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
zuhur mengimami mereka (para sahabat) shalat. Setelah rakaat kedua, beliau
bangkit berdiri tanpa duduk (tasyahud awal). Orang-orang pun bangkit bersama
beliau. Ketika beliau telah menyelesaikan shalat dan orang-orang menanti salam
beliau, ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lalu sujud dua kali
sebelum salam. Setelahnya, barulah beliau salam.” (HR. al-Bukhari
no. 829 dan Muslim no. 1269)
Adapun yang memandang sunnah di antaranya Malik,
asy-Syafi’i, dan yang lainnya. Dalil mereka adalah ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri dalam shalat saat terlupakan tasyahud awal, para
sahabat mengingatkan beliau dengan bertasbih, namun beliau tetap berdiri.
Seandainya tasyahud itu wajib, tentu beliau akan duduk ketika mendengar peringatan
para sahabat. (al- Hawi al-Kabir 2/132, al-Muhadzdzab fi
Ikhtishar as-Sunan al-Kabir lil Baihaqi 2/581)
Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis condong
kepada pendapat pertama yang menyatakan wajibnya tasyahud awal. Adapun jawaban
terhadap pendapat yang kedua, apabila telah bangkit ke rakaat ketiga dan telah
berdiri, apalagi sudah telanjur membaca al- Fatihah tanpa duduk untuk tasyahud
awal sebelumnya karena lupa, tidak perlu duduk kembali untuk tasyahud. Amalan
shalatnya tetap diteruskan dan di akhir shalat diganti dengan sujud sahwi,
sebagaimana disebutkan oleh hadits Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/322—323)
dengan sanad yang sahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim dan
disepakati oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Wallahu ta’ala
a’lam bish-shawab.
Duduk Iftirasy pada Tasyahud Awal
Pada tasyahud awal, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam duduk iftirasy sebagaimana duduk beliau di antara
dua sujud. Hal ini berdasar hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu
yang dikeluarkan an-Nasa’i rahimahullah. Wail berkata,
أَتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ فَرَأَيْتُهُ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ
الصَّلاَةَ حَتَّى يُحَاذِي مَنْكِبَيْهِ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ. وَ
إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ: أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى
“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam. Aku melihat beliau mengangkat kedua tangan saat membuka
shalat, hingga dua tangan beliau setentang dengan kedua pundak beliau. Demikian
pula ketika beliau hendak rukuk. Saat beliau duduk dalam rakaat kedua, beliau
membaringkan kaki kiri beliau dan menegakkan kaki kanan.” (Dinyatakan sahih
sanadnya dalam Shahih an-Nasa’i no. 1159)
Demikian yang beliau amalkan pada tasyahud awal
dalam shalat tiga atau empat rakaat. Sahabat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu
menyatakan,
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظُكُمْ لِصَلاَةِ
رَسُوْلِ اللهِ وَفِيْهِ قَالَ: فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى
رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ الْيُمْنَى وَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ
الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَ نَصَبَ ا خْألََرَى وَ قَعَدَ عَلَى
مَقْعَدَتِهِ
“Aku paling hafal di antara kalian tentang
shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam….” Dalam hadits tersebut, Abu
Humaid mengatakan, “Apabila duduk dalam rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki
kirinya dan menegakkan kaki yang kanan. Apabila beliau duduk pada rakaat yang
terakhir, beliau mengedepankan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang
lain (kaki kanan) serta duduk di atas pantat beliau.” (HR. al-Bukhari no.
828)
Az-Zain ibnul Munayyir rahimahullah,
sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, mengatakan
bahwa hadits di atas menunjukkan adanya perbedaan antara duduk tasyahud awal
dan duduk tasyahud akhir. (Fathul Bari, 2/395)
Al – Imam an-Nawawi rahimahullah
menyatakan tentang perbedaan tersebut sesuai dengan zahir hadits Abu Humaid,
yaitu tasyahud awal dengan duduk iftirasy dan tasyahud akhir dengan duduk
tawarruk. (al-Minhaj, 4/437)
Perbedaan Pendapat dalam Masalah Duduk Tasyahud
Awal Ulama dalam masalah ini terbagi menjadi empat pendapat:
1. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah,
asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, ashabur ra’yi, dan yang lainnya rahimahumullah,
berpendapat duduk iftirasy pada saat tasyahud awal.
2. Al-Imam Malik t dan yang lainnya menyatakan
duduk tawarruk saat tasyahud awal.
3. Al-Imam al-Auza ’ i rahimahullah
menyatakan iftirasy dan boleh duduk di atas kedua telapak kaki secara
bersamaan.
4. Al-Imam ath-Thabari rahimahullah
menyatakan iftirasy atau tawarruk semuanya sunnah karena di sini perkaranya
lapang.
(al-Isyraf ‘ala Madzhibil ‘Ulama 2/40—41,
at-Tahdzib fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, 2/120, Syarhus Sunnah lil Baghawi
3/172,
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ishaq
Muslim al-Atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar