Saat duduk dalam tasyahud ini, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanan, dan
telapak tangan kiri di atas paha kiri. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh
hadits Abdullah ibnu az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma,
وَضَعَ
يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ
الْيُسْرَى
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas
paha kanan dan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim no. 1308)
Demikian pula disebutkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma. (HR. Muslim no. 1311) Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan lengan
bawahnya di atas pahanya dan tidak menjauhkannya, hingga ujung siku beliau
berada di pangkal pahanya. Adapun lengan kiri dalam keadaan jari-jemarinya
terjulur di atas paha kiri.” (Zadul Ma’ad, 1/256)
Atau telapak tangan tersebut diletakkan di atas
lutut, sebagaimana dalam riwayat yang lain,
وَضَعَ
يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى
رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى
“Beliau meletakkan tangan kirinya di atas
lutut kiri dan tangan kanannya di atas lutut kanan.” (HR. Muslim no. 1310)
Ujung siku kanan, beliau letakkan di atas paha
kanan, sementara jari telunjuk kanan beliau berisyarat dengan menunjuk. Adapun
jari kelingking kanan dan jari manis dilipat. Ibu jari beliau dengan jari
tengah membuat lingkaran, sebagaimana disebutkan oleh hadits Wail bin
Hujr radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan sifat duduk tasyahud ini,
di antaranya,
وَحَدَّ
مِرْفَقَهُ الْأَيْمَن عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى, وَقَبَضَ ثِنْتَيْنِ وَحَلَقَ،
وَرَأَيْتُهُ يَقُوْلُ هَكَذَا
“Beliau meletakkan ujung siku beliau yang
kanan di atas paha kanan. Dua jari beliau lipat/genggam (kelingking dan jari
manis) dan beliau membentuk lingkaran (dengan dua jari beliau). Aku melihat
beliau melakukan seperti ini.”
Bisyr ibn al-Mufadhdhal (seorang rawi yang
meriwayatkan hadits ini mencontohkan) mengisyaratkan jari telunjuk
(meluruskannya seperti menunjuk), sedangkan jari tengah dan ibu jari membentuk
lingkaran. (HR. Abu Dawud no. 726 & 957, dinyatakan sahih dalam Shahih
Abi Dawud)
Berisyarat dengan Telunjuk Saat Tasyahud
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
memberitakan bahwa apabila duduk untuk tasyahud, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya dengan terbentang di
atas lutut kirinya, sedangkan telapak tangan kanan yang berada di atas lutut
kanan menggenggam jari-jemarinya seluruhnya dan memberi isyarat ke kiblat
dengan jari telunjuknya dalam keadaan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk
tersebut. (HR. Malik 1/111—112, Muslim no. 1311)
Al-Imam Ahmad rahimahullah
meriwayatkan (2/119) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَهِيَ
أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ
“Jari telunjuk itu lebih keras bagi setan
daripada besi.”
Al-Imam al-Albani rahimahullah menerangkan
hadits ini, “Sanadnya hasan atau mendekati hasan, karena semua
rawinya tsiqah, rijal kutubus sittah, selain Katsir ibnu Zaid,
dia shaduq yukhthi’, seperti dalam at-Taqrib.” (al- Ashl,
3/839)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Berisyarat
dengan jari telunjuk dalam tasyahud ini diamalkan oleh sebagian ahlul
ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
tabi’in. Ini juga pendapat yang dipegangi oleh teman-teman kami (ahlul
hadits).” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shalah”, bab “Ma Ja’a fil
Isyarah fit Tasyahud”)
Al-Imam Muhammad ibnul Hasan rahimahullah
berkata dalam Muwaththa’nya, “Kami mengambil teladan dari
perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah
pendapat Abu Hanifah1.” (al-Ashl, 3/841)
Al-Imam ‘Ali
al-Qari al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “Demikian pendapat Malik,
Syafi’i, dan Ahmad, serta tidak diketahui ada perselisihan ulama salaf
dalam masalah ini. Yang ada hanyalah penyelisihan sebagian fuqaha
masa belakangan dari kalangan mazhab kami.” (Tuhfah al-Ahwadzi,
bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)
Setelah membawakan sejumlah hadits tentang
isyarat dengan jari telunjuk, al-Imam Ali al-Qari al-Hanafi rahimahullah
pada risalah Tazyin al-Ibarah li Tahsin al-Isyarah menyatakan, “Ini
adalah hadits-hadits yang banyak dengan jalurjalur yang banyak,
yang masyhur, dan karenanya tidak diragukan. Hadits-hadits ini
menunjukkan sahihnya hukum asal isyarat, karena sebagian sanadnya ada
dalam Shahih Muslim. Amalan ini bisa dikatakan mencapai
mutawatir secara makna. Dengan demikian, orang yang beriman
kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya tidak
boleh enggan mengamalkannya. Adapun pendapat yang menolak berisyarat
dengan telunjuk beralasan bahwa mengangkat telunjuk adalah perbuatan
yang tidak perlu sehingga meninggalkannya lebih utama—karena shalat
dibangun di atas ketenangan— alasan ini tertolak. Sebab, seandainya lebih
utama tidak melakukannya, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak akan melakukannya. Padahal beliau memiliki sifat
kewibawaan dan ketenangan yang paling tinggi, tidak ada yang
menyamai.” (Sebagaimanadinukil dalam al-Ashl, 3/842)
Tata cara isyarah saat tasyahud ada dua,
sebagaimana yang datang dalam riwayat yang kuat.
1. Jari kelingking dan jari manis dilipat ke
bagian dalam telapak tangan, demikian pula jari tengah dan ibu jari. Hanya
saja, ibu jari diletakkan di atas jari tengah, sedangkan jari telunjuk
diluruskan (menunjuk), sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
di atas.
2. Terkadang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam membuat lingkaran dengan jari tengah dan ibu jari,
sebagaimana riwayat Wail ibnu Hujr radhiallahu ‘anhu yang juga telah
disebutkan. Kedua sifat di atas adalah keragaman beribadah dalam masalah tata
cara isyarah. Para ulama menyebutnya tanawwu’at fil ibadah.
Jadi, bisa diamalkan salah satu di antara keduanya, kadang yang ini, di waktu
lain yang itu. Al-Imam Ali al-Qari rahimahullah berkata,“Hal ini
memberikan faedah diberikannya pilihan bagi kita di antara dua cara
berisyarat, yang keduanya dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ini adalah pendapat dan pengumpulan yang bagus. Jadi, sepantasnya
orang yang berjalan di atas sunnah terkadang melakukan yang satu dan di lain
waktu yang lainnya.” (al- Ashl, 3/851—852)
Kapan Isyarah Dimulai?
Penulis Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubarakfuri,
berkata, “Secara zahir, hadits-hadits isyarah semuanya menunjukkan bahwa
isyarah dengan jari telunjuk dimulai dari awal duduk tasyahud. Saya
tidak melihat satu pun dalil sahih yang menunjukkan seperti apa yang dikatakan
oleh para ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi.”
Duduk yang dilarang saat
tasyahud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang
duduk bersandar (bertopang) di atas tangan kirinya saat duduk dalam shalat.
Beliau katakan, “Itu adalah shalat orang Yahudi.” Dalam satu lafadz,
لاَ
تَجْلِسْ هَكَذَا: إِنَّمَا هَذِهِ جِلْسَةُ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ
“Jangan kalian duduk seperti itu, karena
hanyalah yang demikian itu duduknya orang-orang yang diazab.” (HR. al-Hakim
1/272, dinyatakan sahih dalam al-Irwa no. 380) Wallahu ta’ala
a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
al-Atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar