Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan sujud beliau mendekati lamanya ruku’ beliau, namun terkadang beliau
sangat lama sujudnya karena ada satu perkara/kejadian. Syaddad ibnul Had radhiyallahu
anhu menceritakan, “Pada waktu salah satu shalat siang (Zhuhur atau
Ashar), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
kami dalam keadaan menggendong Hasan atau Husain radhiyallahu anhu .
Beliau lalu maju untuk mengimami jamaah shalat,
sementara cucu beliau diletakkan di sisi telapak kakinya yang kanan. Beliau
bertakbir untuk shalat. Di saat sujud, beliau melakukannya dengan demikian
panjang, hingga aku mengangkat kepalaku di antara manusia untuk mengetahui apa
sebenarnya yang sedang terjadi.
Ternyata si cucu menunggangi pundak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sujud. Aku
kembali kepada sujudku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelesaikan shalatnya, orang-orang pun bertanya, “Wahai
Rasulullah, Anda sujud dalam shalat ini demikian panjangnya hingga kami
menyangka telah terjadi suatu perkara atau turun wahyu kepada Anda!” Beliau
menjawab, “Semua itu tidak terjadi, melainkan karena anakku1 ini menunggangiku.
Aku tidak suka menyudahi kesenangannya sampai ia sendiri menyelesaikan
hajatnya.” (HR. an-Nasa’i no. 1141, Ahmad 3/493, 6/467, al-Hakim 3/164, sanadnyasahih
di atas syarat syaikhani, kata al- Hakim, dan disepakati oleh
adz-Dzahabi.Hadits ini dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)
Keutamaan SujudRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا
أَرَادَ اللهُ رَحْمَةَ مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ،
“Ketika Allah Subhanahuwata’ala ingin merahmati
siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara penghuni neraka, Ia
memerintahkan para malaikat untuk mengeluarkan dari dalam neraka orang yang
dahulunya pernah beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala .Para malaikat pun
mengeluarkan orang-orang yangdemikian. Para malaikat mengenali mereka dengan
bekas-bekas (tanda) sujud.Allah Subhanahuwata’ala mengharamkan bagi api neraka
melahap bekas sujud. Mereka itu keluar dari neraka. Seluruh bagian tubuh bani
Adam( yang masuk neraka) dilahap oleh api neraka terkecuali bekas sujud.”
(Potongan hadits yang panjang tentang hari kebangkitan dan syafaat yang
dibawakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu , dikeluarkan oleh
al-Bukhari no. 6573 dan Muslim no. 450).
Tsauban radhiyallahu anhu maula
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan suatu
amalan yang paling dicintai Allah Subhanahuwata’ala atau amalan yangbisa
memasukkannya ke dalam surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
عَلَيْكَ
بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ لِلهِ، فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لله
“Hendaknya engkau memperbanyak sujud kepada Allah
Subhanahuwata’ala ,karena tidaklah engkau sujud kepada Allah Subhanahuwata’ala
dengan satu sujud saja melainkan Allah Subhanahuwata’ala akan mengangkat
derajatmu karenanya dengan satu derajat dan Diahapuskan darimu satu
kesalahan.” (HR. Muslim no. 1093)
Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu
anhu berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku siapkan air wudhu beliau dan air untuk keperluan
buang hajat beliau. Beliau lalu bertanya, ‘Mintalah sesuatu.’ Aku katakan, ‘Aku
minta agar aku bisa menemanimu di surga.’ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Atau permintaan yang lain?’ ‘Itu saja yang kuminta,’
jawab Rabi’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّي
عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ
‘Kalau begitu bantulah aku dengan engkau banyak melakukan sujud (dengan
shalat)’.” (HR. Muslim no. 1094)Bangkit dari Sujud
Seraya bertakbir, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya, dan beliau perintahkan hal ini
kepada orang yang salah shalatnya.
Duduk di antara Dua Sujud
Setelah mengangkat kepalanya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam duduk bersimpuh dengan menjulurkan telapak kaki kiri dan
duduk di atas kaki kirinya dengan tenang/ thuma’ninah, sebagaimana ditunjukkan
oleh hadits Maimunah bintu al-Harits radhiyallahu anha yang
dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahumullah no. 1108. Demikian pula
hadits Aisyah radhiyallahu anha yang menyebutkan,
وَكَانَ
يَفْتَرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Beliau menjulurkan ( telapak) kaki kirinya dan menegakkan (telapak) kaki
kanannya.”(HR. Muslim no. 1110)Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata,
مِنْ
سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَم الْيُمْنَى
“Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan telapak
kaki yangkanan, menghadapkan jari-jemari kaki ke arah kiblat, dan duduk diatas
kaki kiri.” (HR. an-Nasa’i no. 1157, 1158, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan
an-Nasa’i dan al-Irwa’ no. 317)
Duduk seperti inilah yang diistilahkan duduk iftirasy. Terkadang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk iq’a, sebagaimana
dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma Thawus pernah bertanya
kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang iq’a di atas dua
tumit, maka beliau menjawab bahwa duduk seperti itu sunnah. (HR. Muslim no.
1198)
Thawus rahimahumullah berkata, “Aku
melihat tiga Abdullah: Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair melakukannya.”
Ini dilakukan pula oleh Salim, Nafi’, Thawus, Atha’, dan Mujahid. Al-Imam
Ahmad radhiyallahu anhu menyatakan pula, “Penduduk Kufah
melakukannya.” (al-Isyraf‘alaMadzahibil‘Ulama, 2/35—36)
Tata cara duduk iq’a ditunjukkan oleh riwayat
al-Baihaqi. Disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegakkan dua tumit beliau dan bagian dalam (yang dipakai untuk menapak) kedua
telapak kaki atau duduk bertumpu di atas ujung-ujung jari kedua kaki. Duduk
iq’a ini diamalkan oleh kebanyakan salafus shalih. At-Tirmidzi rahimahumullah
menerangkan, “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berpegang dengan hadits ini (hadits Ibnu Abbas),
sehingga mereka memandang tidak apa-apa duduk iq’a. Ini adalah pendapat
sebagian penduduk Makkah dari kalangan ahli fikih dan ilmu.” (Sunan
at-Tirmidzi, kitabash-Shalah, bab“Fi ar-Rukhshah fil Iq’a”)
Sementara itu, sebagian ulama lain tidak
menyenangi iq’a, di antara mereka adalah Ali radhiyallahu anhu dan
Abu Hurairah radhiyallahu anhu . Ibnu Umar radhiyallahu anhu pernah
pula mengatakan kepada anak-anaknya, “Jangan kalian meneladani aku dalam hal
iq’a, karena aku melakukannya hanyalah ketika usiaku telah lanjut.” Ibrahim
ibnu Yazid an-Nakha’i rahimahumullah berkata, “Mereka membenci amalan iq’a
dalam shalat.”
Ini juga pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, ashabur ra’yi,
dan kebanyakan ulama. (al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama, 2/36)
Sebagian ulama yang lain menyatakan boleh
memilih. Dia bisa menjulurkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk
iftirasy), bisa pula duduk iq’a di atas kedua tumitnya. Iftirasy dan iq’a
keduanya sunnah, hanya saja iftirasy lebih dikenal dan lebih banyak yang
memberitakannya, sebagaimana diriwayatkan dan dibenarkan oleh sepuluh orang
sahabat. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamshallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukannya dan terkenal di
kalangan para sahabat. Jadi, iftirasy lebih utama dari iq’a, walaupun duduk
iq’a ini pernah dilakukan oleh beliau pada satu keadaan. (al-Ashl, 2/806—807)
Inilah pendapat yang kuat dalam masalah ini,
wallahua’lambish-shawab. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat makruhnya duduk
iq’a berhujah dengan hadits-hadits yang melarang iq’a, yaitu hadits riwayat
at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
anhu , Ibnu Majah dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu ,
Ahmad bin Hanbal dari riwayat Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu dan
Abu Hurairah radhiyallahu anhu , al-Baihaqi dari riwayat Samurah radhiyallahu
anhu dan Anas radhiyallahu anhu .
Semua sanadnya dhaif, sebagaimana dinyatakan
demikian oleh al-Imam an- Nawawi rahimahumullah dalam al-Minhaj/Syarhu
Muslim (5/22) dan asy-Syaukani rahimahumullah dalam Nailul Authar (2/143),
selain dua hadits berikut.
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata,
ثلاَثٍ:
عَنْ نَقْرَةٍ �َ عَنْ
n
نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangku dari tiga hal (dalamshalat): mematuk seperti patukan
ayam jantan, duduk iq ’a seperti iq’a anjing, dan menoleh seperti tolehan
serigala.” (HR. Ahmad 2/265, hadits ini hasan lighairihi sebagaimana dalam
Shahih at-Targhib no. 555)
2. Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu ,ia
berkata,
عَنِ
الْإِقْعَاءِ فِي الصَّلاَةِ n نَهَى رَسُوْلُ اللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari duduk iq’a dalam shalat.” (HR. al-Hakim 1/272)
Dalam sanadnya ada al-Hasan al-Bashri rahimahumullah yang meriwayatkan
dari Samurah radhiyallahu anhu, sementara itu Hasan al-Bashri adalah
rawi yang banyak melakukan tadlis dalam periwayatannya sebagaimana disebutkan
dalam at-Taqrib dengan membawa kalimat periwayatan yang memungkinkan tadlis itu
bisa terjadi dari sisi beliau, seperti riwayat di atas.
Lebih-lebih lagi, riwayat beliau dari
Samurah radhiyallahu anhu bermasalah—apakah beliau
mendengarkannya secara langsung atau tidak—kecuali hadits akikah yang
diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahumullah dalam Shahih-nya yang
al-Hasan secara terang-terangan menyatakan mendengar hadits ini dari Samurah radhiyallahu
anhu.
Adapun yang beliau tidak secara terang-terangan
menyatakan mendengar maka tidak bisa menjadi hujah sebagaimana hadits ini.
Karena itulah, al-Imam an- Nawawi rahimahumullah menyatakannya lemah.
Jadi, yang tertinggal sekarang adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu
anhu yang berderajathasan. Sebenarnya, hadits Abu Hurairah di atas
tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu
anhuma tentang sunnahnya iq’a karena yang dilarang dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu anhu adalah iq’a yang khusus, yaitu iq’a
anjing; menempelkan dua pantatnya ke bumi/tanah dan menegakkan keduabetisnya
serta meletakkan kedua tangan di atas bumi.
Demikian yang ditafsirkan oleh ahli bahasa, di
antaranya Abu Ubaid dalam kabar yang diriwayatkan al-Baihaqi. Dengan demikian
iq’a yang terlarang ini berbeda dengan iq’a yang ditetapkan dalam as-Sunnah.
Dengan demikian, hadits-hadits yang ada dalam
masalah iq’a ini, yang satu menyatakan sunnah dan yang lainnya melarang, bisa
dipadukan. Demikian diterangkan oleh al- Baihaqi, diikuti oleh Ibnu ash-Shalah,
an-Nawawi, dan para muhaqqiq selain mereka—semoga Allah Subhanahuwata’ala
merahmatimereka semua. (al-Ashl, 2/806)
A l – Imaman – Nawawi rahimahumullah menyatakan, yang benar iq’a itu
ada dua macam. Yang satu dibenci, yaitu seperti duduknya anjing; dan yang kedua
sunnah, yaitu duduk (menempatkan pantat) di atas dua tumit, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dan
itulah yang dilakukanoleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(al-Minhaj, 5/22—23) Wallahu ta’ala a’lam.Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar