Doa-doa Istiftah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membuka bacaan beliau dalam shalat dengan mengucapkan doa-doa yang banyak lagi
beragam. Di dalamnya beliau memuji Allah ‘azza wa jalla,
memuliakan-Nya dan menyanjung-Nya. Doa-doa inilah yang diistilahkan dengan doa
istiftah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Rifa’ah ibn Rafi’ radhiallahu ‘anhu, sahabatnya yang keliru dalam
shalatnya (al-musi’u shalatuhu):
إِنَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوْءَ – يَعْنِي مَوْضِعَهُ – ثُمَّ يُكَبِّرَ،
وَيَحْمَدَ الله، وَيُثْنِيَ
عَلَيْهِ، وَيَقْرَأَ بمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ …
“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang
dari manusia hingga ia berwudhu lalu meletakkan wudhunya pada tempat-tempatnya,
kemudian ia bertakbir, memuji Allah ‘azza wa jalla dan menyanjung-Nya serta
membaca apa yang mudah baginya dari Al-Qur’an…” (HR. Abu Dawud
no. 857, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Doa istiftah ini dibaca dengan sirr
(tidak dikeraskan), dan pendapat yang rajih (kuat) hukumnya mustahab
(sunnah) sebagaimana pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan
orang-orang setelah mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali Al-Imam Malik rahimahullah.
Beliau berkata, ‘Tidak dibaca doa istiftah ini dan tidak ada sama sekali bacaan
apapun antara Al-Fatihah dan takbir. Yang seharusnya ia ucapkan adalah
bertakbir: Allahu Akbar, lalu membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin sampai akhir
dari surah Al-Fatihah.” (Al-Majmu’, 3/278)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata,
“Pendapat Al-Imam Malik rahimahullah ini memberikan konsekuensi batalnya
tiga sunnah:
Pertama: doa istiftah
Kedua: isti’adzah
(mengucapkan A’udzubillah… dst, memohon perlindungan dari
gangguan setan)
Ketiga: basmalah
Padahal ini merupakan sunnah yang pasti lagi
mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang nampak,
sunnah-sunnah ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik rahimahullah,
ataupun sampai kepada beliau akan tetapi beliau tidak mengambilnya karena suatu
sebab menurut beliau.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, 1/239-240)
Sebagaimana telah disinggung di atas, doa-doa
istiftah itu banyak dan beragam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri mengganti-ganti bacaan doa istiftahnya. Terkadang membaca doa yang ini,
di kali lain membaca doa yang itu dan seterusnya. Ketika shalat fardhu beliau
membaca yang satu dan ketika shalat nafilah/sunnah beliau membaca yang lainnya.
Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Muhammad ibnu Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi seseorang
beristiftah sekali waktu dengan (doa istiftah) yang ini dan di waktu lain
dengan (doa istiftah) yang itu, agar ia menunaikan sunnah-sunnah seluruhnya.
Dengan cara seperti itu, berarti ia juga menghidupkan sunnah serta lebih
menghadirkan hati. Mengapa? Karena bila seseorang hanya membaca satu macam doa
istiftah secara terus-menerus (tidak menggantinya dengan doa yang lain),
niscaya hal itu akan menjadi kebiasaan baginya. Sampai-sampai saat ia
bertakbiratul ihram dalam keadaan hatinya lalai (tidak perhatian dengan amalan
shalatnya) sementara telah menjadi kebiasaannya beristiftah dengan “Subhanaka
allahumma wa bihamdik…”, maka ia akan dapati dirinya tanpa sadar mulai membaca
doa istiftah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/48)
Beberapa doa istiftah yang pernah diamalkan dan
diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai
berikut:
- Bacaan:
اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا
باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ
كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ
خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan
kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya
kain yang putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan air, hujan es, dan air dingin.” (HR. Al-Bukhari
no. 744 dan Muslim no. 1353, dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan doa
istiftah ini dalam shalat fardhu.
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ
صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ
أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ،
ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذَنْبِي جَمِيْعًا
إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ
الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ.
وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا, لاَ يَصْرِفُ عَنِّي
سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ. لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي
يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ
وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah
memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam
keadaan lurus mengarah kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku,
hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya,
dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali
berserah diri1.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Engkau. Engkaulah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu.
Aku telah menzalimi diriku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah
dosa-dosaku seluruhnya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa
kecuali Engkau.
Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik,
tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan
palingkan/jauhkanlah aku dari kejelekan akhlak dan tidak ada yang dapat
menjauhkanku dari kejelekan akhlak kecuali Engkau.
Labbaika (aku terus-menerus menegakkan ketaatan
kepada-Mu) dan sa’daik (terus bersiap menerima perintah-Mu dan terus mengikuti
agama-Mu yang Engkau ridhai). Kebaikan itu seluruhnya berada pada kedua
tangan-Mu, dan kejelekan itu tidak disandarkan kepada-Mu2. Aku berlindung,
bersandar kepada-Mu dan Aku memohon taufik pada-Mu. Mahasuci Engkau lagi
Mahatinggi. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR.
Muslim no. 1809 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat fardhu dan shalat nafilah.
Ini menyelisihi pendapat sebagian ulama yang
mengatakan bahwa doa istiftah ini dibaca dalam shalat lail (tahajud), seperti
Abu Dawud Ath-Thayalisi rahimahullah dalam Musnad-Nya (23) dan Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/51) mengatakan, “Yang benar,
doa istiftah ini hanyalah diucapkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam qiyamul lail.” Namun pendapat yang benar sebagaimana yang telah kami
sebutkan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
1/249)
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ
صَلاَتِي, وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ
أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحاَنَكَ وَبِحَمْدِكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang
mencipta langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan aku
lurus, condong kepada al-haq lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan
dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah
diri. Ya Allah, Engkau adalah Raja tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Engkau. Mahasuci Engkau dan sepenuh pujian kepada-Mu.” (HR.
An-Nasa’i no. 898 dari Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu.
Dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 821)
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ
صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ
اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي
لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ. وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ
الْأَخْلاَقِ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah
memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam
keadaan lurus condong kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup
dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan
dengan itulah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
Ya Allah, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik,
tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik
kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak
ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.” (HR.
An-Nasa’i no. 896 dari Jabir radhiallahu ‘anhuma. Dishahihkan
dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 820)
- Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ،
وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh
pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan
keagungan-Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.” (HR.
Abu Dawud no. 776, An-Nasa‘i no. 899, dan selain
keduanya dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan dalam
Shahih Abi Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda yang maknanya, “Ucapan yang paling dicintai oleh Allah adalah
seorang hamba mengucapkan: سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ… (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid,
2/123. Juga diriwayatkan An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah,
488/849, dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihah no. 2939)
- Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَتَبَارَكَ اسْمُكَ,
وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَ لاَ إِلَهَ غَيْرُكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (ثَلَاثًا),
اللهُ as(أَكْبَر كَبِيْرًا (ثَلَاثًا
“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh
pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan keagungan-Mu,
dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau. Tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah (3 kali), Allah Maha Besar (3 kali).” (HR. Abu
Dawud no. 775 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
Dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat malam (tahajud).
- Bacaan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا،
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
“Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah
dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.” (HR.
Muslim no. 1357 dan yang selainnya dari Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma)
Doa ini diucapkan seorang sahabat ketika
beristiftah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah
menanyakan siapa pengucapnya, beliau bersabda, “Aku merasa kagum dengan doa
tersebut! Dibukakan untuk doa tersebut pintu-pintu langit.”
- Bacaan:
الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا
فِيْهِ
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.” (HR. Muslim
no. 1356 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Doa ini diucapkan seorang sahabat yang lain ketika
beristiftah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh aku melihat dua belas malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka
yang akan mengangkat doa tersebut.”
- Bacaan:
اللُّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ،
وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ
أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ،
وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمّدٌ حَقٌّ،
وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ
تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ،
فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ،
أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَلاَ
حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Ya Allah, hanya milik-Mu lah segala pujian.
Engkau adalah Penegak (yang menjaga dan memelihara) langit-langit dan bumi dan
siapa yang ada di dalamnya. Dan hanya milik-Mu lah segala pujian, hanya
milik-Mu lah kerajaan langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya.
Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau
adalah pemberi cahaya langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian,
Engkau adalah Raja langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Hanya
milik-Mu lah segala pujian.
Engkau adalah Al-Haq (Dzat yang pasti
wujudnya), janji-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, ucapan-Mu benar, surga
itu benar adanya, neraka itu benar adanya, para nabi itu benar, Muhammad itu
benar dan hari kebangkitan itu benar (akan terjadi).
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri,
hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu
aku kembali, dan hanya karena-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku berhukum.
Maka ampunilah dosa-dosa yang telah kuperbuat dan yang belakangan kuperbuat,
ampunilah apa yang aku rahasiakan dan apa yang kutampakkan.
Engkau adalah Dzat yang Terdahulu, dan Engkau
adalah Dzat yang Paling Akhir, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau,
tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR.
Al-Bukhari no. 1120 dan Muslim no. 1805 dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma, lafadz yang dibawakan adalah lafadz
Al-Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat tahajjud.
- Bacaan:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ
وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ
يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ،
إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan
Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh
sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan
di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya.
Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu.
Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke
jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 1808 dari Aisyah radhiallahu
‘anha)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkannya dalam shalat lail (shalat malam).
- Bacaan:
اللهُ أَكْبَرُ (عَشْرًا)، الْحَمْدُ لِلهِ (عَشْرًا)،
سُبْحَانَ اللهِ (عَشْرًا), لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ (عَشْرًا)، أَسْتَغْفِرُ
اللهَ (عَشْرًا) .اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي، وَعَافِنِي (عَشْرًا) .اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيْقِ kl(يَوْمَ الْحِسَابِ (عَشْرًا)
.
Allah Maha Besar (10 kali). Segala puji bagi
Allah (10 kali). Mahasuci Allah (10 kali), tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah (10 kali), aku memohon ampun kepada Allah (10 kali). (kemudian
membaca) Ya Allah, ampunilah aku, berilah petunjuk kepadaku, berilah rezeki
kepadaku dan maafkanlah aku. (10 kali) (kemudian diteruskan dengan
membaca) Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan pada hari
penghisaban (perhitungan amalan).
(HR. Ahmad 6/143 dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath 62/2, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/267 )
(HR. Ahmad 6/143 dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath 62/2, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/267 )
Doa-doa istiftah tersebut tidak digabungkan saat
dibaca
Doa-doa istiftah di atas tidak digabungkan saat dibaca, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika ditanya Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
tentang bacaan istiftah beliau, beliau menjawab dengan bacaan:
اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ….
Beliau tidaklah menyebut doa istiftah yang lain
setelah itu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak menggabungkan doa-doa istiftah
yang ada. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/52)
Isti’adzah
Isti’adzah yaitu bersandar kepada Allah ‘azza
wa jalla dan mendekat ke sisi-Nya, untuk berlindung dari kejelekan setiap
makhluk yang memiliki kejelekan. ‘Iyadzah itu untuk mencegah
kejelekan.
Setelah beristiftah, sebelum membaca Al-Qur’an
dalam shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
ta’awudz (memohon perlindungan) kepada Allah ‘azza wa jalla terlebih
dahulu dengan mengucapkan:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ
هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terusir/dijauhkan (dari rahmat3) dari was-wasnya4, dari kesombongannya dan dari
sihirnya.”5 (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
1/92/1, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 1/78/2, dari
Jubair ibnu Muth’im radhiallahu ‘anhu, dishahihkan dalam Irwa’ul
Ghalil hadits no. 342)
Terkadang dalam ta’awudz tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menambah dengan:
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terusir/dijauhkan dari rahmat,
dari was-wasnya, dari kesombongannya dan dari sihirnya.” (HR. Abu
Dawud no. 775, dan lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil
pembahasan hadits no. 342)
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Masa’il
Ibni Hani’ (1/51) menyatakan, sepantasnya tambahan ini diucapkan
kadang-kadang.
Jumhur ulama berpendapat hukum ta’awudz ini
sunnah, dengan dalil hadits Al-Musi’u Shalatuhu, di mana dalam hadits tersebut
tidak disebutkan ta’awudz. (Al-Majmu’ 3/283, Taudhihul Ahkam
2/170)
Ini merupakan pendapat Al-Hasan, Ibnu Sirin,
Atha’, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ishaq, dan ashabur ra’yi. (Al-Mughni,
Kitab Ash-Shalah, Fashl La Yajharul Imam bil Iftitah)
Pendapat inilah yang penulis pandang lebih kuat. Wallahu
a’lamu bish-shawab.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
menyebutkan, “Tidak ada dalam hadits-hadits ta’awudz kecuali menerangkan bahwa
ta’awudz dilakukan pada rakaat yang pertama. Adapun Al-Hasan, Atha’, dan
Ibrahim berpendapat ta’awudz ini mustahab diucapkan dalam setiap rakaat. Mereka
berdalil dengan keumuman firman Allah ‘azza wa jalla:
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ
فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah
perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Tidaklah diragukan bahwa ayat di atas menunjukkan
disyariatkannya isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an. Ayat ini berlaku
umum, apakah si pembaca Al-Qur’an tersebut berada di luar shalat atau sedang
mengerjakan shalat. Sedangkan hadits-hadits yang melarang berbicara di dalam
shalat menunjukkan larangan tersebut tidak dibedakan, baik berbicara dengan
mengucapkan ta’awudz ataupun ucapan-ucapan lain yang tidak ada dalil yang
mengkhususkannya dan tidak pula ada izin untuk mengucapkan yang sejenisnya.
Maka yang lebih hati-hati adalah mencukupkan dengan apa yang disebutkan dalam
As-Sunnah, yaitu isti’adzah hanya dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an dalam
rakaat pertama saja.” (Nailul Authar, 2/39)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ
الثَّانِيَةِ افْتَتَحَ الْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
وَلَمْ يَسْكُتْ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bila bangkit ke rakaat kedua, beliau membuka bacaan (qiraah) dengan
‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan beliau tidak diam.” (HR. Muslim
no. 1355)
Hadits ini menunjukkan tidak disyariatkannya diam
sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) pada rakaat yang kedua. Demikian pula
tidak disyariatkan berta’awudz dalam raakat kedua ini. Dan hukum rakaat-rakaat
berikutnya (setelah rakaat kedua) sama dengan hukum rakaat yang kedua. Sehingga
diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) itu hanya khusus pada rakaat yang
pertama. Demikian pula berta’awudz dalam rakaat pertama. (Nailul Authar,
2/136)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul
Ma’ad (1/86) berkata, “Mencukupkan satu ta’awudz (hanya dalam rakaat
pertama, pen.) adalah pendapat yang lebih nampak, berdasarkan hadits yang
shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ
الثَّانِيَةِ، اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila
bangkit dari rakaat yang kedua, beliau membuka dengan bacaan dan tidak diam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencukupkan satu istiftah, karena beliau tidak menyelingi dua qiraah (bacaan)
dengan diam, tapi beliau menyelinginya dengan dzikir. Maka qiraah dalam shalat
seperti satu qiraah apabial yang menyelinginya adalah pujian kepada Allah, atau
tasbih, atau tahlil, atau shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan yang semisalnya.
Adapula yang berpendapat bahwa ta’awudz hukumnya
wajib dan dibaca setiap rakaat dalam shalat, seperti pendapat Ibnu Hazm rahimahullah
dalam Al-Muhalla (2/278) dan yang lainnya dari ahlul ilmi6, dengan
dalil firman Allah ‘azza wa jalla:
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ
فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah
perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Rahasia isti’adzah
Isti’adzah memiliki berbagai kebaikan. Di
antaranya sebagai penyuci lisan dari berbagai ucapan sia-sia dan kotor yang
diucapkan oleh seseorang, ketika mengucapkan/membaca kalamullah. Juga merupakan
isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah ‘azza wa jalla, serta
pengakuan bahwa Allah ‘azza wa jalla-lah yang memiliki kekuasaan,
sementara hamba itu lemah dan tidak mampu mengatasi musuhnya (setan) yang nyata
namun tidak nampak, serta tak ada yang mampu menolak dan mencegahnya kecuali
Allah ‘azza wa jalla yang menciptakannya. Terlebih, setan ini tidak
dapat menerima keramahtamahan dan tidak peduli dengan kebaikan, berbeda dengan
musuh dari kalangan manusia. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh banyak ayat
dalam Al-Qur’an.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّ عِبَادِي لَيۡسَ لَكَ
عَلَيۡهِمۡ سُلۡطَٰنٞۚ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلٗا ٦٥
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, engkau tidak
memiliki kekuasaan atas mereka sama sekali. Cukuplah Rabbmu sebagai pelindung.”
(Al-Isra’: 65)
Para malaikat turun untuk memerangi musuh berupa manusia. Siapa saja yang
terbunuh oleh musuh yang nampak maka dia menjadi seorang syahid. Sementara
orang yang binasa oleh musuh yang tidak nampak, dia akan terusir. Siapa saja
yang terkalahkan oleh musuh yang nampak maka dia akan mendapatkan balasan
pahala, sementara siapa saja yang terkalahkan oleh musuh yang tidak nampak, dia
akan tertimpa fitnah dan memikul dosa.
Tatkala setan melihat manusia dari tempat yang
tidak terlihat oleh manusia, maka semestinya manusia memohon perlindungan
darinya kepada Dzat Yang melihatnya sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya. (Al-Mishbahul
Munir, hal.18)
Penulis mengatakan, masalah ini di luar shalat ketika
membaca Al-Qur’an, maka tentunya di dalam shalat seseorang harus lebih
memerhatikan lagi diri dan shalatnya. Karena pada saat itu ia dalam keadaan
berdiri beribadah kepada Rabbnya yang semestinya ditegakkan dengan khusyu’ dan
menjaga shalatnya dari was-was setan serta tipu dayanya. Wallahul musta’an.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ
ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعُ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاء أَقْبَلَ
حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتىَّ إِذَا قَضَى التَّثْوِيْبَ
أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُوْلُ: اُذْكُرْ كَذَا،
اُذْكُرْ كَذَا -لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ– حَتَّى يَظِلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي
كَمْ صَلَّى
“Apabila diserukan adzan untuk shalat setan
berlalu dan ia memiliki kentut (berlalu dengan mengeluarkan suara kentut)
hingga ia tidak mendengar adzan. Apabila adzan selesai dikumandangkan, ia
datang kembali hingga saat diserukan iqamah, ia berlalu lagi. Ketika telah
selesai iqamah, ia datang lagi hingga ia bisa melintaskan di hati seseorang
berbagai pikiran, ia berkata, ‘Ingatlah ini, ingatlah itu’, padahal sebelumnya
orang yang shalat tersebut tidak mengingatnya, demikian sampai orang tersebut
tidak mengetahui telah berapa rakaat shalat itu dikerjakannya.” (HR. Al-Bukhari
no. 608)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)
ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim
Abu Ishaq Al-Atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar