Tidak mendahului imam dalam bertakbir
Bila seseorang shalat di belakang imam, janganlah
mendahului imam dalam bertakbir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang makmum mendahului imamnya. Seperti dalam hadits Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka bila
ia bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan kalian bertakbir hingga ia
bertakbir. Bila ia ruku’ maka ruku’lah kalian dan jangan kalian ruku’ sampai ia
ruku’ …” (HR. Abu Dawud no. 603, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud)
Mengangkat tangan
Mengangkat kedua tangan ketika memulai shalat
merupakan perkara yang disyariatkan, bahkan perkara yang disepakati (ijma’). (Fathul
Bari, Ibnu Rajab 4/296)
Telah dinukilkan pernyataan ijma’ ini oleh Ibnul
Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnus Subki. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/6,
Nailul Authar 2/11)
Akan tetapi, telah dinukilkan dari Al-Imam Malik rahimahullah
riwayat tidak mengangkat tangan sama sekali. Namun demikian, dikatakan oleh Al-
Imam Zainuddin Abul Fadhl Al-‘Iraqi dalam Tharhut Tatsrib (2/446) bahwa riwayat
ini syadz (ganjil). Demikian pula Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah
menafikannya dan menyatakan bahwa periwayatan tersebut nampaknya tidak benar
dari Malik, karena hadits mengangkat tangan adalah hadits yang disepakati
keshahihannya dan tidak didapati celaan seorang pun terhadap perawinya. (Fathul
Bari, Ibnu Rajab 4/296)
Namun demikian para ulama berselisih, apakah hukumnya
wajib atau mustahab. Sebagian besar ahlul ilmi, yakni jumhur dan termasuk dalam
hal ini imam yang empat, mengatakan hukumnya sunnah (Subulus Salam 2/169).
Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan perkara
tersebut sebagaimana dalam hadits al-musi’i shalatahu di atas. Beliau
hanya mengajarkan takbir saja. Seandainya mengangkat tangan itu seperti hukum
takbir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentunya
beliau akan mengajarkan pada orang tersebut (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/297).
Pendapat inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Kata Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah,
mengangkat tangan dalam shalat tidaklah wajib. Tidak ada ulama yang berpendapat
demikian kecuali Dawud Azh-Zhahiri. Ia mengatakan wajib mengangkat tangan
ketika takbiratul ihram. Namun sebagian pengikut madzhab/murid-muridnya
menyelisihi pendapatnya ini. Mereka tidak mewajibkannya. (Ikmalul Mu’lim
2/261-262)
Yang berpendapat wajib di antaranya adalah Al-Humaidi,
Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad bin Yasar, ‘Ali ibnul Madini, Ishaq, Ibnu Abi Syaibah,
Ibnu Khuzaimah, dan Al-Auza’i. (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296-297, Nailul
Authar 2/11)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul
ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah)
tanpa perkara ini.” (Al-Muhalla 2/264)
Dalil mereka di antaranya adalah hadits: “Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246
dan Muslim no. 1533)
Keadaan tangan ketika bertakbir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang mengangkat tangan beliau bersamaan dengan takbir, di waktu lain
sebelum takbir dan pernah pula setelah bertakbir. Dalilnya di antaranya
hadits-hadits berikut ini:
– Bersamaan dengan takbir
Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
berkata: “Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka
shalat dengan bertakbir, lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika
bertakbir, hingga beliau menjadikan kedua tangannya setentang (sejajar) dengan
kedua pundaknya….” (HR. Al-Bukhari no. 736)
Mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbir ini
merupakan pendapat dalam madzhab Hanafiyah, juga pendapat Asy-Syafi’i dan
pendapat Malikiyah.
– Sebelum takbir
Ditunjukkan dalam hadits Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu
‘anhuma juga, ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bila bangkit mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya
hingga keduanya setentang (sejajar) dengan kedua pundaknya, kemudian beliau
bertakbir….” (HR. Muslim no. 860 dan Al-Bukhari dalam kitabnya Juz Raf’il
Yadain)
– Setelah takbir
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul
Huwairits radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila selesai bertakbir, beliau
mengangkat kedua tangannya hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua telinga
beliau….” (HR. Muslim no. 863 dan Al-Bukhari dalam Juz Raf’il Yadain)
Abu Qilabah mengabarkan: Ia pernah melihat Malik ibnul
Huwairits apabila shalat maka ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Bila
ia ingin ruku’, ia mengangkat kedua tangannya. Demikian pula ketika mengangkat
kepalanya dari ruku’, ia mengangkat kedua tangannya dan ia menyampaikan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. (HR.
Muslim no. 862 dan Al-Bukhari no. 737)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah menerangkan,
“…Masing-masing cara yang telah disebutkan merupakan sunnah yang tsabitah
(pasti ketetapannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga semestinya seorang muslim mengamalkannya dalam shalatnya. Jangan
sampai ia tinggalkan salah satu dari tiga cara ini. Yang sepantasnya, di satu
waktu ia melakukan yang ini, di kali lain cara yang itu, dan di waktu
selanjutnya ia amalkan cara yang satunya lagi.” (Al-Ashl 1/198-199)
Tata cara mengangkat tangan
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat tangannya, beliau membentangkan/meluruskan jari-jemarinya. Satu jari
dengan jari yang lain tidak terlalu direnggangkan, namun tidak pula
dirapatkan/digabungkan satu dengan yang lainnya, dan diarahkan ke kiblat (Fathu
Dzil Jalali wal Ikram 3/61). Ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila masuk dalam shalatnya (memulai shalatnya dengan takbiratul ihram), beliau
mengangkat tangannya dengan membentangkan jari-jarinya.” (HR. Abu Dawud no.
753 dan selainnya, dishahihkan oleh guru kami Al-Imam Al-Wadi’i rahimahullah
dalam Al-Jami’ush Shahih 2/95)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersungguh-sungguh dalam mengangkat kedua tangan beliau, sampai-sampai terlihat
kedua ketiak beliau. Sebagaimana kata Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
“Seandainya aku berada di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
niscaya aku dapat melihat kedua ketiak beliau.” (HR. Abu Dawud no. 746,
shahih menurut syarat Muslim, seperti kata guru kami Al-Imam Al-Wadi’i
rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 2/96)
Dalam hadits yang telah dibawakan, disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya hingga
setentang (sejajar) dengan kedua pundak beliau, dan di waktu lain beliau
mengangkat keduanya hingga sejajar dengan kedua telinga beliau. Karena dua tata
cara ini ada dalilnya, maka keduanya merupakan sunnah dan dua-duanya bisa
diamalkan. Al-Imam Abul Hasan As-Sindi rahimahullah berkata, “Tidaklah
saling bertentangan di antara amalan-amalan/tata cara yang berbeda-beda. Karena
boleh jadi semua tata cara tersebut terjadi di waktu-waktu yang berbeda.
Sehingga, semuanya merupakan sunnah, terkecuali ada dalil yang menunjukkan
mansukh (terhapus)nya sebagian tata cara tersebut…” (Hasyiyah Sunan
An-Nasa’i lis Sindi 2/122)
Faedah
Fadhilatusy
Syaikh Al-Imam Al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ulama
–semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka– berbeda pendapat
tentang sejumlah ibadah yang disebutkan dengan cara yang beragam. Apakah yang
afdhal mencukupkan satu cara saja, ataukah yang afdhal melakukan semuanya pada
waktu-waktu yang berbeda, ataukah yang afdhal menjamak (mengumpulkan) apa yang
mungkin dijamak?
Yang benar dalam hal ini adalah pendapat kedua yang
pertengahan, yaitu ibadah yang datang dengan cara yang beragam sekali waktu
diamalkan satu cara dan di kali lain dilakukan cara yang satunya lagi.”
Beliau melanjutkan, “Kalau engkau hanya mengamalkan
satu cara dan meninggalkan cara lain, niscaya akan mati cara yang lain. Karena
suatu sunnah tidak mungkin tetap hidup terkecuali bila kita sekali waktu
mengamalkannya, di kali lain mengamalkan yang lain lagi. Alasan lain, bila
seseorang di satu waktu mengamalkan satu cara, di kali lain ia melakukan cara
yang lain lagi, niscaya hatinya akan hadir ketika menunaikan amalan yang
diajarkan oleh As-Sunnah[1]. Perkara ini nyata, dapat disaksikan. Karena itulah orang
yang setiap kali istiftah mengucapkan: “Subhanaka allahumma wa bihamdika….
“, engkau dapati dirinya dari awal ia bertakbir langsung lanjut dengan “Subhanaka
allahumma wa bihamdika…” tanpa ia sadari. Karena ia sudah terbiasa dengan
bacaan tersebut. Akan tetapi bila suatu waktu ia mengucapkan bacaan ini dan di
kali lain ia mengucapkan doa yang lain, niscaya ia akan (lebih) perhatian.
Ada beberapa faedah mengamalkan ibadah yang memiliki
tata cara beragam:
- Mengikuti
sunnah
- Menghidupkan
sunnah
- Menghadirkan
hati (dalam melakukan ibadah)
Bisa juga kita dapati faedah yang keempat: Bila salah
satu cara dari beberapa cara itu ada yang lebih pendek/ringkas dari yang lain,
seperti zikir setelah shalat, maka seseorang terkadang ingin mempercepat
selesai dari zikir tersebut, sehingga ia mencukupkan dengan mengucapkan Subhanallah
10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu akbar 10 kali. Maka
orang ini melakukan amalan yang menepati As-Sunnah dengan waktu yang lebih
singkat, karena ingin menunaikan hajatnya. Dan tidak ada keberatan/dosa bagi
seseorang melakukan hal itu, apatah lagi bila ada hajatnya yang ingin ditunaikan….”
(Asy-Syarhul Mumti’ 3/19-20)
Perhatian
Sebagian
orang mengangkat kedua tangannya tanpa melewati dadanya, seakan-akan ia memberi
isyarat dengan kedua tangannya. Yang seperti ini lebih mirip dengan perbuatan
sia-sia/bermain-main dalam shalat. Ini sama sekali bukan termasuk dari ajaran
As-Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61)
Faedah
Al-Hafizh rahimahullah
mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan lelaki dan perempuan
dalam hal mengangkat tangan.” (Fathul Bari 2/287)
Adapun Hanafiyah berpandangan, lelaki mengangkat tangannya sampai kedua
telinganya sedangkan perempuan sampai dua pundaknya, karena ini lebih menutup
(cukup) baginya. Dan dinukilkan dari Ummud Darda’ radhiallahu ‘anha
bahwa beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dua bahunya. Demikian pula
pendapat Az-Zuhri. Sementara ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Hammad bin Abi Sulaiman
berpendapat wanita mengangkat kedua tangannya sejajar payudaranya, dan ini yang
diamalkan Hafshah bintu Sirin rahimahallah.
‘Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah mengatakan
bahwa wanita memiliki keadaan yang berbeda dengan laki-laki. Kalaupun dia tidak
melakukan yang demikian, maka tidak mengapa. (Tharhut Tatsrib 2/450)
Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah
ibnu Baz rahimahullah berkata, “Yang benar, tidak ada perbedaan antara
shalat laki-laki dan shalat perempuan. Perbedaan yang disebutkan oleh sebagian
fuqaha tersebut tidak ada dalilnya. Sementara ucapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.”
Merupakan pokok yang mencakup keseluruhan shalat.
Juga, pensyariatan agama ini mencakup laki-laki maupun perempuan, kecuali bila
ada dalil yang memang mengkhususkannya.
Karena itu, sunnah bagi wanita untuk shalat
sebagaimana laki-laki shalat, baik dalam ruku’, sujud, bacaan, meletakkan kedua
tangan di atas dada, ataupun yang lainnya. Ini lebih utama. Demikian pula dalam
hal meletakkan tangan di atas lutut ketika ruku’, meletakkan tangan di atas
tanah ketika sujud sejajar pundak atau sejajar telinga, meluruskan punggung
ketika ruku’, apa yang dibaca ketika ruku’, sujud, setelah bangkit dari ruku’,
setelah bangkit dari sujud, ataupun di antara dua sujud. Semuanya sama dengan
laki-laki, sebagai pengamalan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam
Shahih-nya. (Majmu’ Fatawa 11/80)
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Ia akan perhatian dengan amalan/gerakan yang
sedang dilakukannya. Beda halnya bila ia terbiasa terus-menerus hanya melakukan
satu cara, niscaya gerakannya ibarat gerakan yang spontan, tanpa harus dipikir
terlebih dahulu. Karena sudah terbiasa dilakukan, sehingga hatinya tidak ia
hadirkan. Shalatnya bergulir begitu saja tanpa ia pikirkan apa saja yang telah
dilakukan dan diucapkannya dalam shalat tersebut. Wallahu a’lam. -pen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar