Selasa, 12 Mei 2020

MENINGGAL TAPI MASIH PUNYA HUTANG PUASA RAMADAN

┏📜📚📖━━━━━━━━━━━━━┓
  *Majmu'ah Riyadhussalafiyyin*
┗━━━━━━━━━━━━━📖📚📜┛

📖 [SEPUTAR QADA PUASA Bagian. 6]

🌾🌻📝 *MENINGGAL TAPI MASIH PUNYA HUTANG PUASA RAMADAN*

Untuk menentukan hukumnya seperti apa, maka harus dilihat dulu keadaannya. Karena orang yang memiliki hutang puasa sampai dia meninggal ada 2 keadaan:

1. Keadaan seperti yang disebutkan asy-Syaikh al-Utsaimin di atas. Dia belum mendapati masa sembuh lalu meninggal dunia. 


Dalam keadaan ini keluarganya tidak memiliki kewajiban apapun. 

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, 

قَالَ فِي الرَّجُلِ الْمَرِيضِ فِي رَمَضَانَ فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا حَتَّى يَمُوتَ قَالَ: لَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ 

"Beliau berkata tentang orang sakit pada bulan Ramadan dan dia tetap sakit sampai meninggal dunia, 'Tidak ada kewajiban apapun atasnya.'" -SANADNYA SHAHIH- Riwayat Abdurrozzaq (7630)

2. Dia punya kesempatan untuk mengqada tapi tidak kunjung mengqada karena menunda-nunda sampai akhirnya meninggal dunia. 

Seperti misal, orang yang sakit pada bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa selama delapan hari. Pada bulan Ramadan itu juga dia sudah sembuh. Kemudian pada tanggal 20 Syawal dia meninggal dunia. Artinya, sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk mengqada, yaitu antara tanggal 2-19 Syawal, tapi dia tidak mengqada. 

Untuk kasus kedua ini, jawabannya terdapat di dalam hadis, 

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya yang berpuasa menggantikannya.” HR. al-Bukhari (1952) dan Muslim (1147)

'Kewajiban puasa' yang disebutkan dalam hadis di atas bersifat umum, apakah hutang puasa Ramadan, puasa kafarat, ataupun puasa nazar. Ada sejumlah pembahasan dari hadis ini:

*SIAPA YANG DIMAKSUD WALINYA*

Walinya seseorang ialah kerabatnya, baik itu dari kalangan ahli waris atau bukan. Sebab, asal kata wali berasal dari 'وَلْيٌ' yang bermakna 'dekat'. Jadi, makna wali diartikan sesuai dengan makna secara bahasanya yaitu kerabat ketika tidak ditemui ada dalil yang menjelaskan makna berbeda. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, 

الْمُرَاد بِقَوْلِهِ وَلِيُّهُ فَقِيلَ كُلُّ قَرِيبٍ وَقِيلَ الْوَارِثُ خَاصَّةً وَقِيلَ عَصَبَتُهُ وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ وَالثَّانِي قَرِيبٌ

"Yang dimaksud 'walinya' ada yang mengatakan;
[1] seluruh kerabat, 
[2] hanya ahli waris, 
[3] ashabah [ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan berapa]. 
Pendapat pertama yang paling kuat. Dan pendapat kedua juga dekat dengan kebenaran." (Al-Fath, IV/194) 

Dalam fatwa Al-Lajnah disebutkan, 

والولي هو القريب كالأب والابن، والأخ وابن العم وغيره

"Makna wali adalah kerabat. Seperti ayah, anak, saudara, sepupu, dan lain-lain." (Al-Majmu'ah al-Ula, X/329) 

Semakin memperjelas, Al-Allamah Ibnu Baaz menerangkan, 

والمراد بالولي القريب سواء كان من جهة الأب أو جهة الأم 

"Yang dimaksud wali adalah kerabat. Baik dari pihak ayat atau dari pihak ibu." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XV/365) 

Jadi siapapun dari kalangan kerabat seseorang maka boleh untuk mengqadakan puasanya saat dia telah meninggal. 

*ORANG LAIN JUGA BOLEH MENGQADAKAN PUASANYA* 

Alasan boleh karena Nabi Muhammad ﷺ menamakan qada puasa dengan membayar hutang, yaitu hutang kepada Allah. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, 

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم فَقَالَ: «يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟» فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟»، قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»

"Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ, lalu ia berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia mempunyai hutang puasa sebulan, apakah aku melakukan qada untuknya?' 

Nabi ﷺ menjawab, 'Kalau ibumu mempunyai tanggungan hutang apakah kamu akan melunasinya?' Lelaki tersebut menjawab, 'Ya'. Beliau lalu bersabda, 'Sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi'." HR. al-Bukhari (1953) dan Muslim (1148)

Telah diketahui bahwa dalam masalah hutang materi tidak harus keluarga mayit yang melunasi, maka demikian pula hutang puasa. 

Imam Muwaffaq ad-Diin Ibnu Qudamah berkata, 

وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِالْوَلِيِّ، بَلْ كُلُّ مَنْ صَامَ عَنْهُ قَضَى ذَلِكَ عَنْهُ، وَأَجْزَأ، لِأَنَّهُ تَبَرُّعٌ، فَأَشْبَهَ قَضَاءَ الدَّيْنِ عَنْهُ. 

"Ini tidak khusus bagi kerabat saja. Bahkan siapapun bisa membayarkan puasanya dan hukumnya sah karena sifatnya membantu, sama seperti membayarkan hutangnya." (Al-Mughni, III/153)

Al-Allamah Ibnu Baaz menyatakan, 

وإن صام غيره أجزأ ذلك 

"Jika orang lain (yang bukan keluarganya) yang menqadakan, maka itu sah." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XV/373)

Dikhususkannya kerabat oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis ini karena keluarga ialah yang tentunya paling perhatian terhadap urusan mayit. Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata, 

أنَّ أولى من يتولى أداء ذلك عنه هو وارثه، الذي له عليه حق البر، فهذا من أعظم البر والإحسان.

"Sesungguhnya yang paling layak untuk menyelesaikan tunggakan puasa ialah ahli waris, karena dia memiliki tanggung jawab untuk berbuat baik kepada mayit dan menyelesaikan puasa mayit termasuk bentuk kebaikan terbesar untuknya." (Taudhih al-Ahkam, III/525)

*KANDUNGAN HADIS INI BERSIFAT ANJURAN UNTUK KELUARGA BUKAN PENGHARUSAN*

Dalam artian, tidak berdosa keluarga yang ditinggalkan andaikata mereka tidak melunasi hutang puasa si mayit.

Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata, 

فلو قال قائل: إن قوله صلّى الله عليه وسلّم «صام عنه وليه» أمر فما الذي صرفه عن الوجوب؟
فالجواب: صرفه عن الوجوب قوله تعالى {وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [الأنعام: ١٦٤] ولو قلنا: بوجوب قضاء الصوم عن الميت لزم من عدم قضائه أن تحمل وازرة وزر أخرى، وهذا خلاف ما جاء به القرآن.

"Bila ada yang mengatakan, 'Sesungguhnya sabda Nabi Muhammad '.. maka walinya yang berpuasa menggantikannya' adalah perintah. Lalu apa yang memalingkannya dari hukum wajib? 

Jawabnya, yang memalingkan perintah di atas sehingga tidak menimbulkan hukum wajib ialah firman Allah, 

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ 

"Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS. al-An'am: 164)

Jika kita mengatakan bahwa seseorang wajib berpuasa untuk qada orang yang sudah meninggal, maka konsekuensinya jika tidak diqada akan ada orang yang memikul dosa orang lain, dan konsekuensi ini bertentangan dengan yang disebutkan dalam al-Qur'an." (Asy-Syarh al-Mumti', VI/450)

Ketika konsekuensi yang muncul bertentangan dengan al-Qur'an, ini menunjukkan bahwa menetapkan hukum 'wajib' menqadakan puasa untuk kerabat yang sudah meninggal adalah tidak tepat. 

🖋 Oleh: _al-Ustadz Hari Ahadi_ حفظه الله

📲 *Ayo Join dan Share*:
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📚 Faedah:
telegram.me/Riyadhus_Salafiyyin
🖼 Poster dan Video:
telegram.me/galerifaedah
🌏 Kunjungi:
www.riyadhussalafiyyin.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar