Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam masalah shalat adalah setelah mengangkat tangan dalam
takbiratul ihram, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri saat bersedekap.
Beliau bersabda:
“Kami, segenap para nabi, diperintahkan untuk
menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, dan kami diperintah untuk
meletakkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami di dalam
shalat.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no.
11485, dan selainnya dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
dishahihkan dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, 1/206)
Jabir radhiallahu ‘anhuma mengabarkan,
di saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang
lelaki yang sedang shalat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan
kanannya, beliau pun melepaskan tangan tersebut lalu membetulkannya dengan
meletakkan tangan kanan orang tersebut di atas tangan kirinya. (HR.
Ahmad 3/381. Al-Haitsami rahimahullah berkata, “Rijalnya rijal Ash-Shahih.” Majma’
Az-Zawaid 2/105)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku meletakkan tangan kiri
di atas tangan kananku di dalam shalat. Beliau pun mengambil tangan kananku
lalu diletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR. Abu Dawud no. 755,
dihasankan dalam Shahih Abi Dawud dan Fathul Bari, 2/291)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam
kitab Shahihnya menyebutkan Bab Wadh’il yumna ‘alal
yusra (peletakan tangan kanan di atas tangan
kiri) dan membawakan riwayat Sahl ibnu Sa’d radhiallahu
‘anhu yang mengabarkan: “Adalah orang-orang diperintah agar
seseorang meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah (lengan
bawah/hasta) di dalam shalat.”
Abu Hazim, perawi yang meriwayatkan dari Sahl
mengatakan, “Aku tidak mengetahui dari Sahl kecuali dia
menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Al-Bukhari no. 740)
Faedah
Para ulama menjelaskan, di antara
hikmah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal ini
merupakan tata cara seorang peminta yang hina (meminta dengan menghinakan diri
di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala). Cara seperti ini paling
menahan/menghalangi dari berbuat main-main dalam shalat dan lebih dekat pada
kekhusyukan.” (Fathul Bari, 2/291)
Cara peletakannya
Tangan kanan tadi diletakkan di atas tangan kiri
dengan:
– al-wadha’: diletakkan saja
di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hasta/lengannya (antara
siku dan telapak tangan).
Dalilnya adalah hadits Wa’il ibnu Hujr radhiallahu
‘anhu, ia berkata, “Sungguh-sungguh aku akan melihat kepada
shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengetahui secara
tepat bagaimana shalat beliau. Aku pun mengamati beliau. Beliau berdiri, lalu
bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berhadapan dengan bagian atas
kedua telinga beliau. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas
punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hastanya….” (HR.
Abu Dawud no. 727, An-Nasa’i no. 889, dishahihkan
dalam Al-Irwa’ 2/68-69)
Atau bisa pula dengan cara:
– al-qabdh: tangan kanan
menggenggam tangan kiri.
Cara ini disebutkan dalam sebagian riwayat hadits
Wail ibnu Hujr radhiallahu ‘anhu seperti dalam riwayat An-Nasa’i (no.
887). Wail berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila berdiri dalam shalat, beliau menggenggamkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya.” (Sanadnya shahih
sebagaimana dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata,
“Tidaklah samar bahwa antara qabdh dengan wadha’ ada
perbedaan yang jelas. Karena qabath lebih khusus daripada
sekadar meletakkan (wadha’). Setiap orang yang menggenggam
berarti ia meletakkan dan tidak sebaliknya.” Beliau mengatakan, “Sebagaimana
hadits tentang wadha’shahih, demikian pula tentang qabdh.
Maka yang mana saja dari keduanya dilakukan oleh orang yang shalat berarti
sungguh ia telah mengerjakan Sunnah. Yang lebih utama, bila sekali waktu ia
lakukan yang ini dan di waktu yang lain ia lakukan yang itu.
Adapun menggabungkan antara wadha’ dengan qabdh yang
dianggap baik oleh sebagian orang-orang yang belakangan dari kalangan Hanafiyah
adalah bid’ah. Gambarannya –sebagaimana yang mereka sebutkan– adalah seseorang
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan mengambil/menggenggam
pergelangan tangan kiri dengan jari kelingking dan ibu jarinya yang kanan,
sementara tiga jari yang lain dibentangkan. Cara ini seperti yang disebutkan
dalam Hasyiyah Ibnu Abidin alad Dur (1/454).” (Ashlu
Shifah, 1/211-215)
Tempat kedua tangan yang
disedekapkan
Dalam hal ini terdapat hadits-hadits yang menyebutkan
bahwa kedua tangan tersebut diletakkan di bawah pusar, di atas pusar, atau di
atas dada. Bila hadits-hadits tersebut tsabit niscaya ini
termasuk keragaman dalam ibadah, di mana masing-masing sahabat meriwayatkan apa
yang ia saksikan, maka semuanya berarti disyariatkan. Akan tetapi kata guru
besar kami, muhaddits dari negeri Yaman, Al-Imam Abu Abdirrahman Muqbil ibnu
Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, “Hadits-hadits yang menyebutkan di bawah
pusar dan di atas pusar, beredar pada rawi yang bernama Abdurrahman ibnu Ishaq
Al-Kufi, sementara ia dhaif/lemah.
Diperselisihkan riwayat yang
dibawakannya karena ada kegoncangan (idhthirab) dalam
haditsnya. Terkadang ia meriwayatkan dari Ziyad ibnu
Zaid sehinggaperiwayatannya tergolong dalam musnad Ali radhiallahu
‘anhu. Sekali waktu ia meriwayatkan dari Sayyar ibnul Hakam dan
dijadikannya mauquf (berhenti sanadnya) sampai Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu. Terkadang pula ia meriwayatkan dari An-Nu’man ibnu Sa’d sebagaimana
dalam riwayat Al-Baihaqi (juz 2, hal. 11) sehingga tergolong dalam
musnad Ali. Al-Baihaqi rahimahullah telah mengisyaratkan
sebagian perbedaan ini, kemudian beliau berkata, “Abdurrahman ibnu Ishaq matruk (ditinggalkan
haditsnya).”
“Di sana ada riwayat lain dari jalur Ghazwan ibnu
Jarir Adh-Dhibbi, dari ayahnya, dari perbuatan Ali radhiallahu ‘anhu,
tidak marfu’ (sampai) kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pada Ghazwan dan ayahnya sendiri ada jahalah (majhul).
Hanya saja riwayat keduanya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah,
sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Adapun kalau keduanya bersendiri dalam
penetapan suatu hukum maka tidak bisa. Apatah lagi apa yang mereka sebutkan
adalah dari perbuatan Ali radhiallahu ‘anhu, sementara perbuatan
seorang sahabat bukan hujjah.
Adapun riwayat yang menyebutkan kedua tangan
diletakkan di atas dada yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, maka riwayat tersebut
dari jalur Muammal ibnu Ismail. Dia lebih dekat kepada kedhaifan.
Terlebih lagi dia bersendiri dalam riwayatnya dari sekelompok huffazh, sebagaimana
dalam ta’liq terhadap Nashbur Rayah. Akan tetapi
hadits Wail diriwayatkan dari jalur Abdul Jabbar ibnu Wa’il, dari ibunya, dari
ayahnya, yang dibawakan Al-Imam Ahmad dan dalam sanadnya ada Qubaishah ibnu
Halb. Kata Ibnul Madini, “(Qubaishah ini) majhul, tidak ada
yang meriwayatkan darinya kecuali Sammak.” An- Nasa’i berkata, “Dia majhul.”
Kata Al-‘Ijli, “Dia seorang tabi’in yang tsiqah.” Ibnu Hibban menyebutkannya
dalam Ats-Tsiqat sebagaimana dalam Tahdzibut Tahdzib. Yang
terpilih dalam hal ini adalah ucapan Ibnul Madini dan An-Nasa’i, karena
Al-‘Ijli dan Ibnu Hibban diketahui sering mentsiqahkan orang yang majhul.
Yang paling shahih dalam masalah ini adalah
hadits Thawus yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Di dalamnya disebutkan
peletakan tangan di atas dada. Akan tetapi haditsnya mursal,
sementara mursal termasuk bagian hadits dhaif.
Sehingga yang tampak bagiku adalah perkara di mana kedua tangan itu
diletakkan ketika sedekap termasuk perkara yang lapang (tidak dibatasi), sama
saja apakah diletakkan di atas pusar, di bawah pusar, ataupun di atas dada.
Walaupun riwayat mursal (yang telah kami sebutkan di atas,
yaitu meletakkan tangan di atas dada) merupakan riwayat yang paling shahih
dalam permasalahan ini. Wallahu a’lam.” (Riyadhul Jannah
fir Raddi ‘ala A’da’is Sunnah, hal. 127-128)
Hukum melepaskan tangan tanpa bersedekap
Guru kami yang mulia, Asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi
Al-Wadi’i rahimahullah berkata, “Telah datang atsar tentang melepaskan
tangan tanpa bersedekap di dalam shalat dari sebagian salaf, seperti ‘Abdullah
bin Az-Zubair, Ibrahim An-Nakha’i, Sa’id bin Jubair, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah,
sebagaimana yang ada dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah (1/391)
dan Mushannaf ‘Abdir Razzaq (2/276).
Jawaban akan hal ini: Bisa jadi tidak sampai
kepada sebagian mereka hadits-hadits tentang meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dalam shalat, sementara hadits-hadits itu sampai kepada yang lain.
Juga bisa jadi mereka menganggap baik dan memandang bahwa melepaskan tangan
tanpa bersedekap bisa membantu untuk khusyu’.
Adapun yang tidak sampai padanya dalil-dalil
peletakan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat, maka mereka
mendapatkan uzur. Sementara yang menganggap baik hal itu dalam keadaan telah
mendapati nash, maka anggapan mereka itu tertolak, siapa pun dia. Semoga Allah subhanahu
wa ta’ala meridhai Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika
beliau mengatakan: “Aku tak pernah meninggalkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam karena pendapat seseorang”, atau ucapan yang semakna
dengan ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَّقَدۡ كَانَ
لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ
وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang
baik bagi kalian, bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari
akhir.”(Al–Ahzab: 21)
ٱتَّبِعُواْ
مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ
أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada
kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian ikuti selain-Nya sebagai wali.
Alangkah sedikitnya kalian ingat.” (Al–A’raf: 3)
Karena itu, tidak halal bagi seseorang untuk
meninggalkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala karena
pendapat Fulan dan Fulan. Adapun orang-orang yang berpendapat melepaskan
tangan, bisa jadi dia tidak mengetahui dalil dan dia diberi uzur, atau dia
seorang alim mujtahid yang diberi pahala dengan ijtihadnya, atau seorang
pembangkang yang pantas diberikan hukuman. Tidaklah halal mengikuti mereka
semua dalam perkara yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam….
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah telah
menetapkan bahwasanya melepaskan tangan itu tidak tsabit (shahih)
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Riyadhul
Jannah, hal. 131-133)
Larangan berkacak pinggang di dalam
shalat
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang
dilarang shalat dalam keadaan berkacak pinggang.” (HR. Al-Bukhari no. 1220)
Juga dari Ziyad bin Shabih Al-Hanafi, dia
mengatakan:
Aku pernah shalat di sisi Ibnu ‘Umar. Maka
aku meletakkan kedua tanganku di kedua pinggangku. Ketika telah selesai shalat,
Ibnu ‘Umar mengatakan, “Ini adalah perbuatan yang menyerupai salib di dalam
shalat, dan dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang seperti
ini.” (HR. Abu Dawud no.903, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan
bahwa yang dimaksud dalam hadits (Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
di atas adalah meletakkan tangan di pinggang ketika shalat. Ini pula yang
ditetapkan oleh Abu Dawud dan dinukilkan oleh At-Tirmidzi dari sebagian ahlul
ilmi. Ini merupakan pendapat yang
masyhur tentang penafsiran ikhtishar dalam shalat.
(Fathul Bari 3/115)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan:
“Yang dimaksud ikhtishar adalah seseorang meletakkan
tangannya di pinggang ketika shalat. Sebagian ahlul ilmi membenci jika
seseorang berjalan dengan berkacak pinggang. Diriwayatkan bahwa iblis bila
berjalan sambil berkacak pinggang.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/237)
Al-Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Hadits ini
menunjukkan haramnya berkacak pinggang di dalam shalat. Demikian pendapat ahlu
zhahir. Sementara Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Ibrahim An-Nakha’i,
Mujahid, Ibnu Majlaz, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, ulama ahlul Kufah dan yang
lainnya berpendapat makruh. Yang kuat adalah apa yang dipegangi oleh ahlu
zhahir, karena tidak adanya dalil-dalil penyerta yang dapat memalingkan
larangan ini dari pengharaman yang merupakan maknanya yang hakiki. Inilah yang
benar.” (Nailul Authar, 2/223)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar